Kamis, 20 November 2008

Prolegnas Masihkah Pantas?...


Oleh: Muhamad Ilham – FHUI 05

Begitu dahsyatnya kekuatan teks undang-undang, sehingga pembentukannya pun merupakan arena tanding kekuatan politik yang selalu menarik untuk dipantau dan dikaji. Dalam konteks ini, menarik untuk dilihat, tiga ciri hukum yang penting menurut Al. Andang L. Binawan
[1]. Pertama, ciri relasional, yaitu peran hukum dalam menghubungkan dan menyatukan masyarakat. Kedua, ciri kompromis, Kompromi dalam hukum disebabkan karena keragaman pemahaman masyarakat tentang banyak hal, khususnya keadilan. Ketiga¸terkait erat dengan ciri yang kedua, hukum juga berciri minimal. Minimal yang dimaksud disini adalah minimal dalam kandungan konsep ‘Keadilan’ karena adanya banyak kompromi dalam hukum.
Proses di dalam legislasi juga pada dasarnya tidak pernah lepas dari ciri hukum tadi, sebuah hal yang mungkin seringkali luput dari pantauan publik tetapi memiliki signifikansi besar dalam pengaturan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Mulai dari Perencanaan legislasi hingga pada implementasinya.

Kualitas Vs Kuantitas
Kuatnya ‘pertarungan gagasan’ dalam pembentukan hukum juga dikuatkan oleh Colin Summer, yang bahkan menyajikan metodologi pengecekan ideologi dalam pembentukan hukum. Dikatakannya, soal-soal penting mengenai asal mula hukum selalu berkaitan dengan:
Kelompok kekuasaan di balik suatu legislasi,
Masalah-masalah yang ingin dipecahkan oleh kelompok tersebut
Ideologi dimana masalah ini dipahami
Pandangan Oposisi terhadap legislasi tersebut.
Dari sini terlihat bahwa hukum adalah fenomena ciptaan dari politik dan ideologi, sehingga hukum pun disebut sebagai “site of struggle” atau wilayah perjuangan (gagasan), berangkat dari cara pandang inilah, sungguh penting untuk memeriksa kualitas dari sebuah legislasi
[2].
Gagasan ‘kualitas’ ingin dihadapkan pada ‘kuantitas’. Perhadapan ini dubutuhkan untuk mendobrak suatu hal yang sudah menjadi tren. Banyak pihak yang sudah terjebak pada persoalan kuantitas undang-undang yang dihasilkan. DPR dan Pemerintah dilihat sebagai ‘pabrik undang-undang.’, sebuah stigma yang sangat sulit untuk dilepaskan bahkan di antara para pelakunya sendiri. Undang-undang pun dilihat sebagai teks belaka. Padahal kuantitas undang-undang mestinya dilihat sebagai alat untuk menyoroti kinerja yang didasari oleh cara pandang ‘produksi’, membuat perbaikan kinerja lebih banyak diarahkan pada soal-soal teknis prosedural. Maka, anggaran pun ditunjuk menjadi salah satu biang keroknya. Bahkan, dalam diskusi mengenai perbaikan kinerja, sebagai jawaban atas banyaknya atas banyaknya rapat yang berhimpitan menyebabkan munculnya keinginan untuk membatasi berapa jumlah RUU yang dibahas oleh setiap fraksinya
[3].
Perbaikan dalam hal proses legislasi tentu saja diperlukan. Apalagi, amandemen UUD yang berimplikasi pada perubahan struktur ketatatnegaraan masih banyak memerlukan aksi tindak lanjut. Perubahan wewenang legislasi dari pemerintah ke DPR misalnya, masih menimbulkan kegamangan di tingkat teknis. Sehingga pembentukan Baleg DPR dan peningkatan anggaran legislasi di DPR dianggap sebagai obat mujarab yang akan menyembuhkan segala penyakit. Meski kenyataannya tidaklah demikian
[4].

Biaya
Menurut Baldwin dan Cave (1999), kebijakan publik atau perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai good policy bila terdapat prasyarat dimana salah satunya, akuntabel dan dapat dikontrol oleh publik sejak dari pembahasan di dewan sampai kebijakan tersebut diimplementasikan
[5]. Termasuk dalam hal ini sebuah proses legislasi yang pada dasarnya telah memakan ‘ongkos’ yang tidak sedikit.
Sebagai contoh jika kita mencermati Nota Keuangan dan RAPBN 2006, anggaran yang dialokasikan negara tidaklah sedikit. Mahkamah Agung mempunyai anggaran sebesar Rp 15, 8 milyar lebih. Sedangkan pihak eksekutif dianggarkan sebanyak Rp 106,5 milyar lebih. Untuk DPR tidak secara jelas dicantumkan alokasi kebutuhan perundangan seperti pada MA dan Pemerintah. Sedangkan DPR sendiri kurang lebih Rp 760,9 milyar. Jumlah yang tidak sedikit mengingat sumbernya berasal juga dari uang rakyat.
Terlalu banyak memang masalah yang akan ditemui jika fokus pembahasan terus diarahkan pada keseluruhan proses legislasi, namun kali ini yang benar-benar akan dijadikan objek adalah pada proses perencanaannya, yakni suatu proses paling awal yang disebutkan dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, suatu mekanisme yang dianggap sebagai bentuk perwujudan ‘perencanaan’ tadi, suatu mekanisme yang biasa dikenal dengan sebutan Prolegnas atau Program Legislasi Nasional.

Latar Belakang Prolegnas
Pada awal periode pemerintahan dan masa bakti anggota DPR, biasanya dilakukan proses perencanaan. Dalam proses ini, kedua lembaga bertemu untuk merumuskan rencana legislasi selama lima tahun ke depan, yang dikenal dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Keduanya akan merumuskan kegiatan apa saja yang akan dilakukan lima tahun ke depan dalam proses legislasi
[6]. Prolegnas adalah suatu perencanaan mengenai pembentukan undang-undang. Hal ini jelas dari kerangka pengaturan UU No. 10 tahun 2004 yang menempatkan Prolegnas sebagai keluaran (output) dalam tahap perencanaan. Seperti diketahui, UU No. 10 tahun 2004 meletakkan enam tahap dalam pembentukan undang-undang, yaitu perencanaan, penyiapan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Pembentukan undang-undang membutuhkan tahap perencanaan karena ia diletakkan dalam konteks kebijakan (Policy) publik yang tertulis
[7]. Perencanaan mesti dilakukan karena kebijakan publik akan selalu mengalami keterbatasan, baik dalam soal sumber daya manusia dan dana, maupun waktu. Keterbatasan-keterbatasan ini membutuhkan adanya pengelolaan isu. Isu-isu harus dipilah dan dipilih dalam suatu urutan prioritas dan rencana implementasinya yang menyeluruh. Perhitungan pembuat kebijakan mengenai keterbatasan akan selalu mempengaruhi perencanaan.
Yang perlu dicatat pada titik ini, persoalan pengelolaan isu menjadi masalah ketika sistem juga dilihat sebagai keterbatasan. Prolegnas, pada awalnya terkait dengan sistem penganggaran pemerintah. Sebab prolegnas ketika itu dibuat untuk memudahkan Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Anggaran, dalam membuat perencanaan dana yang dibutuhkan untuk proses penyusunan undang-undang
[8].
Sebelum adanya Prolegnas tiap departemen teknis cukup menyebutkan berapa jumlah undang-undang yang akan dibuat dalam tiap tahun anggaran tanpa harus menyebutkan undang-undang apa yang akan dibuat. Tapi kemudian timbul kesulitan dalam hal pertanggungjawaban. Maka kemudian gagasan mengenai Prolegnas ini muncul, agar aspek anggaran juga bisa dihitung dengan lebih matang dalam perencanaan pembangunan.
Secara sistem, sebelum adanya UU No. 10 tahun 2004, Prolegnas dikonstruksikan untuk menerjemahkan Program Pembangunan Nasional (Propenas) ke dalam indikator kinerja pembangunan di bidang hukum. Dasarnya adalah Ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004. Dalam GBHN disebutkan mengenai arah kebijakan bidang hukum butir kedua:

“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui perundangan-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuainnya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”

Kemudian di dalam GBHN yang sama pada bagian kaidah Pelaksanaan disebutkan bahwa pelaksanaan GBHN dituangkan dalam Propenas
[9].

Target Prolegnas yang tidak pernah tercapai
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), pada awal 2006, DPR dan Pemerintah memprioritaskan 76 RUU untuk diselesaikan selama satu tahun. Dari 76 RUU tersebut, 33 di antaranya merupakan limpahan 2005. Sedangkan yang berhasil dihasilkan pada tahun 2005 sendiri dari 55 RUU hanya 14 yang selesai.
Beberapa rincian yang berhasil didapat pada tahun 2006, terhadap hasil dari pencapaian Prolegnas, antara lain:
16 Undang-Undang à tentang Pemekaran Wilayah
7 Undang-Undang à Pengesahan konvensi internasional & perjanjian bilateral
1 Undang-Undang à penetapan PERPU
4 Undang-Undang à berkaitan dengan APBN
11 Undang-Undang à tentang hal-hal lainnya.

Total à 39 Undang-Undang dari 76 pada rencana sebelumnya

Dari ulasan ringkas di atas dan dibandingkan dengan jumlah yang dicapai DPR pada tahun sebelumnya, muncul beberapa pertanyaan. Apakah sebenarnya ukuran untuk menentukan prioritas undang-undang? Sebab dari kenyataan yang ada apa yang dijadikan prioritas tidak benar-benar diprioritaskan. Kalau begitu kenyataannya, untuk apa sesungguhnya prolegnas? Kemudian, bagaimana prioritas ini berpengaruh dan dipengaruhi oleh sistem anggaran? Bila daftar prioritas memuat 76 undang-undang sebagaimana halnya tahun lalu, apa yang terjadi dengan sisa dana yang tidak terpakai karena undang-undang yang selesai dibahas tidak sampai sejumlah itu?, sekalipun sebetulnya telah ada Peraturan Presiden No. 8 tahun 2005 tentang Tata Cara mempersiapkan RUU, R PERPU, R PP, & R PERPRES, dalam pasal 3 nya yang mengatur beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi sebuah rancangan undang-undang untuk bisa masuk ke dalam daftar Prolegnas
[10], namun tetap saja sepertinya perangkat tersebut tidak cukup ampuh untuk menghilangkan stigma terhadap kerancuan penyusunan sebuah prolegnas.
Di sisi lainnya, Prolegnas sudah kadung dijadikan suatu harapan politik publik. Dalam proses perumusan Prolegnas, berbagai organisasi mengadvokasikan masukan RUU tertentu dalam Prolegnas. Ukuran-ukuran kinerja DPR pun dihitung salah satunya dari capaian jumlah RUU yang dihasilkan, dibandingkan dengan target UU yang disahkan
[11].
Dalam praktik, diletakkannya Prolegnas ke dalam UU No.10/2004 ternyata tidak menghilangkan sifat fleksibel dari Prolegnas itu sendiri. Pasal 17 ayat (3) UU ini membuka kesempatan bagi masuknya rancangan undang-undang di luar Prolegnas untuk dimasukkan ke dalam daftar prioritas. Syarat yang dibutuhkan adalah “kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional”. Syarat ini kemudian diurai menjadi empat kriteria yaitu:

i) Rancangan undang-undang yang bersangkutan berhubungan dengan Treaty, Convention, atau perjanjian-perjanjian internasional lainnya,
ii) Adanya kebutuhan mendesak terhadap keberadaan rancangan undang-undang tersebut (salah satu contoh yang diberikan adalah RUU Pemerintahan Aceh),
iii) Rancangan undang-undang yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) menjadi Undang-undang.
iv) Rancangan undang-undang yang merupakan revisi atau pengganti undang-undang yang sebagian atau seluruh isinya dinyatakan tidak mengikat lagi oleh Mahkamah Konstitusi.

Penjabaran di atas sekali lagi membuktikan kegagalan Prolegnas memenuhi targetnya. Bila dibandingkan antara perencanaan yang dibuat dalam Prolegnas dan realisasi setiap tahunnya, maka akan terlihat jelas bahwa Prolegnas sesungguhnya tidak pernah tercapai. Bahkan lebih sering prioritas pembahasan didasarkan pada kebutuhan undang-undang yang saat itu mendesak.

Mempertanyakan Prolegnas
Seperti yang telah diketahui bahwa sebelum adanya UU 10/2004, Prolegnas diletakkan sebagai bagian dari perencanaan kebijakan publik bagi pemerintah, dengan GBHN (yang dimandatkan oleh MPR kepada presiden) sebagai dasarnya. Artinya, Prolegnas dianggap sebagai wilayah kerja (domain) pemerintah. Perlu dicatat, ketika itu UUD belum diamandemen, sehingga kekuasaan membentuk undang-undang masing ada di tangan pemerintah. Ketika pola legislasi berubah dalam amandemen pertama pada 1999, kebiasaan ‘merencanakan’ legislasi dalam Prolegnas yang dianggap baik, ingin diteruskan dan karenanya diadopsi sebagai satu dari enam tahap pembentukan undang-undang dalam UU 10/2004. Hasilnya, penentu akhir prolegnas digeser ke DPR
[12].
Meneruskan kebiasaan baik menjadi problematik ketika esensi kebiasaan itu tidak dipertimbangkan. Dalam logika perencanaan pembangunan yang terkandung dalam gagasan awal Prolegnas, tetap harus ada program pembangunan yang menjadi dasarnya. Padahal, pasca-amandemen UUD 1945, GBHN tidak ada lagi. Maka yang seharusnya dijadikan dasar dalam ‘program pembangunan’ adalah visi dan misi presiden terpilih. Dengan konteks itu, dibuat UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam UU No. 25 tahun 2004 diatur mengenai adanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah(RPJM) sebagai dokumen perencanaan untuk periode lima tahun dan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden
[13].
Jika Prolegnas a la UU No. 10/2004 ingin diposisikan kembali sebagai bagian dari program pembangunan, maka seharusnya dasarnya adalah UU RPJP, yang saat ini masih belum selesai dibahas. Namun persoalannya, bagaimana mengawinkan RPJP, RPJM, dan Prolegnas dalam kaitannya dengan aktor-aktor yang berbeda itu?
Masalah lainnya, model pembuatan Prolegnas dibuat menjadi lebih terbuka, namun bukan sebagai perdebatan publik dalam konteks perumusan kebijakan publik, yang biasanya memakan waktu lama dan diadakan secara partispatif. Yang dilakukan dalam pembentukan Prolegnas pada awal 2005 adalah pengumpulan daftar dari pemerintah, DPD, komisi-komisi di DPR, dan keolompok-kelompok kepentingan (organisasi non-pemerintah, lembaga studi, dan lain sebagainya). Akibatnya, yang terjadi adalah sekadar pengumpulan daftar judul tanpa penjelasan isu publik yang ingin dirumuskan menjadi rencana kebijakandan tanpa pertimbangan tingkat urgensi, rencana implementasi makro, serta rencana evaluasi kebijaka. Daftar pun memanjang menjadi 284 judul RUU, yang dipilah lagi menjadi daftar prioritas tahunan
[14].
Prolegnas seringkali menjadi tolok ukur keberhasilan DPR dan Pemerintah dalam menghasilkan produk legislasi. Penggunaan tolok ukur ini sungguh sesuatu yang keliru. Bukan jumlah undang-undang yang menjadi ukuran bahwa kinerja DPR menjadi baik, karena jumlah undang-undang yang keluar tidak berbanding lurus dengan perbaikan dalam sebuah masyarakat. Ketetapan sebuah undang-undang untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang ada dalam masyarakat serta memecahkan persoalan tersebut melalui undang-undang adalah kuncinya. Namun selama ini pencapaian sejumlah tertentu undang-undang dalam menjadi sesuatu yang seolah prestasi besar dan menyelesaikan semua permasalahan. Hal ini bahkan seringkali menjadi amunisi bagi para politisi untuk merebut simpati para pemilihnya.
Saat ini Prolegnas tidak berkorelasi dengan perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Ini terjadi karena pembuatan Prolegnas tidak dikonstruksikan sebagai perdebatan perumusan kebijakan publik secara partisipatif dan terbuka. Melainkan hanya sebagai pengumpulan daftar judul RUU. Suatu hal yang sangat disayangkan mengingat ‘ongkos’ Politik dan Ekonomi yang telah dikeluarkan dalam rangka penyusunannya bukanlah nilai yang murah.
Berkaca beberapa dari pembahasan di atas keberadaan Prolegnas seperti yang sekarang ini mesti dipikirkan ulang. Prolegnas harus diletakkan kembali dalam esensinya sebagai sebuah produk perencanaan kebijakan publik. Maka prosesnya pun harus mencerminkan proses perencanaan kebijakan publik yang sesungguhnya. Proses ini harus bersifat terbuka. Walau pada akhirnya tetap akan ada pelontar isu dan penentu akhir kebijakan sebagai teks belaka, dalam bentuk judul RUU. Namun sebagai pijakan bagi perencanaan makro, dengan perencanaan mengenai implementasinya, serta kerangka monitoring dan evaluasinya
[15].

Referensi:

L.Binawan, Al Andang. “Merunut Logika Legislasi,” Jurnal Hukum Jentera. edisi 10 tahun III (Oktober 2005): 7-22.

Bivitri Susanti, dkk (Tim Peneliti PSHK). Bobot Berkurang, Janji Masih Terhutang: Catatan PSHK tentang kualitas legislasi 2006. (Jakarta: PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan) & Konrad Adeneur Stiftung/KAS). 2006.

Djani, luky “Efektifitas-Biaya dalam Pembuatan Legislasi” Jurnal Hukum Jentera. edisi 10 tahun III (Oktober 2005): 7-22.

Sholikin, M. Nur. Pengujian Undang-Undang & Proses Legislasi (Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan / PSHK). 2008.

Peraturan Presiden No. 8 tahun 2005 tentang Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Presiden.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[1] Al. Andang L.Binawan, “Merunut Logika Legislasi,” Jurnal Hukum Jentera, edisi 10 tahun III (Oktober 2005): 7-22, hlm. 9.
[2] Bivitri Susanti, dkk (Tim Peneliti PSHK), Bobot Berkurang, Janji Masih Terhutang: Catatan PSHK tentang kualitas legislasi 2006., (Jakarta: PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan) & Konrad Adeneur Stiftung/KAS), 2006, Hal 2.
[3] ‘Masalah anggaran’adalah masalah klasik yang selalu dijadikan alasan tidak hanya di pihaklegislatif tetapi juga di bagian lain seperti pada Eksekutif bahkan Yudikatif.
[4] Bivitri, Op.Cit. Hal 3.
[5] Luky Djani, “Efektifitas-Biaya dalam Pembuatan Legislasi” Jurnal Hukum Jentera, edisi 10 tahun III (Oktober 2005): 7-22, hlm. 40.
[6] M. Nur Sholikin, Pengujian Undang-Undang & Proses Legislasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan / PSHK), 2008, hal 49.
[7] Sebagian disadur dari draf Laporan Penelitan PSHK tentang Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi Legislasi yang dipublikasikan pada akhir februari 2007.
[8] Bivitri, Op.Cit. Hal 43.
[9] Ibid, Hal 44.
[10] Nur Sholikin, op.Cit., Hal 50.
[11] Bivitri, Op.Cit. Hal 45.
[12] Ibid, Hal 44.
[13] Ibid, Hal 45.
[14] Ibid.
[15] Ibid.

Senin, 12 Mei 2008

Seorang Muslim Wajib Bernegara...


Bicara mengenai bernegara tentu saja tidak terlepas dari aturan atau sistem hukum yang melandasi berdirinya negara itu sendiri, maka sebelum membahas lebih jauh mengenai bagaimana hukumnya bernegara dalam Syariat (Hukum) Islam, terlebih dahulu kita harus melihat perlunya berhukum pada Hukum Islam berdasarkan syariat.
Diantara landasan dapat kita lihat dari beberapa penggalan ayat Al Qur’an berikut ini:

“… Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

“… Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45)

“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik” (QS. Al-Maidah: 47)

“Tetapi tidak! Demi Tuhanmu! Mereka tidak (dikatakan) beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati tentang apa yang telah engkau putuskan serta mereka menerima dengan sungguh-sungguh.” (QS. An-Nisa: 65)

“Dan hendaklah engkau hukumkan antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka, dan berjaga dirilah daripada mereka, khawatir kalau-kalau mereka menggelincirkanmu daripada sebagian (perintah) yang Allah turunkan kepadamu. Maka…” (QS. Al-Maidah: 49)

“… Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah; Ia menerangkan kebenaran, dan adalah Ia sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-An’am: 57)

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki ? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini(agamanya)?” (QS. Al-Maidah: 50)

Dalam bukunya yang berjudul AL ISLAM, seorang ulama Islam bernama Syaikh Said Hawa menyatakan bahwa diantara beberapa penyebab batalnya Syahadatain dari seorang muslim yaitu jika “Menghukum dengan selain hukum Allah atau berhukum pada selain Allah”[1]. Termasuk dalam kategori ini adalah sistem demokrasi dalam pemerintahan yang mana segala macam peraturan dan undang-undangnya dibuat oleh wakil-wakil rakyat di parlemen yang sifatnya sebagai perwakilan rakyat dalam satu negara atas dasar kemauan dan pikiran semata-mata. Apabila keputusan penyusunan undang-undang itu terletak di tangan mayoritas (suara terbanyak) anggota parlemen, maka di sini berarti bahwa hak membuat undang-undang itu berada di tangan manusia (padahal hak membuat undang-undang adalah hak Allah semata).[2]

Selain itu ulama Islam lainnya, Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, menyatakan bahwa “Barangsiapa berkeyakinan bahwa hukum selain Nabi lebih baik, meski hanya pada batas keyakinan dan tidak mengamalkannya , maka dia kafir, baik suka maupun tidak suka”[3], ia juga mengategorikan orang yang berhukum selain pada hukum Allah dan menggunakan hukum selain yang diturunkan Allah, baik itu berupa undang-undang atau ketetapan hukum lainnya sebagai salah satu kelompok Thaghut[4].

Dengan demikian paling tidak dari dua pendapat ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa berhukum kepada syari’at merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah ta’ala dan merupakan konsekuensi syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah[5]. Maka bagi seorang muslim berhukum pada hukum atau Syari’at Allah statusnya Wajib.

Syari’at inipun tidak dapat dilaksanakan setengah-setengah, seluruh syari’at yang ada di dalam Islam idealnya dijalankan secara total bukan parsial, tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk menjalankan syari’at yang ia sukai saja dan meninggalkan syari’at yang ia benci. Dalam pandangan Islam, hidup manusia itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Tidak ada perbedaan antara masalah shalat dan masalah muamalat dalam kewajiban untuk tunduk kepada syariat. Sebagaimana wajibnya kita melaksanakan shalat, demikian pula kewajiban kita melaksanakan hukum qishash dalam pembunuhan[6].

Sebagai bahan berpikir, di dalam Al Qur’an terdapat perintah untuk mengerjakan puasa dan perintah melaksanakan hukum qishash yang letaknya sama-sama di dalam surah Al Baqarah dan jaraknya berdekatan. Perintah puasa terdapat pada ayat 183 dan perintah qishash terdapat pada ayat 178 dan 179. Letaknya hanya berjarak lima ayat. Bahkan, orang yang membaca surat Al Baqarah dari permulaan akan lebih dulu membaca ayat tentang qishash. Redaksi dua kewajiban itu pun mirip sekali. Mari kita perhatikan dua ayat tersebut:
Q.S Al Baqarah, 2:178. (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…)
Q.S Al Baqarah, 2:18. (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.)[7]

Anehnya, ayat yang satu (baca: puasa) kita pegang erat, sementara ayat yang satu lagi tidak kita praktikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah ini merupakan sikap mendua dalam memandang hukum Allah SWT?. Sikap seperti ini sangat dimurkai Allah. Hal yang sama pernah terjadi pada kaum Yahudi yang karenanya Allah mengutuk dan memurkai mereka[8].

Pertanyaan selanjutnya adalah mungkinkah Syari’at Islam itu tegak tanpa adanya mekanisme bernegara?, atau bolehkah jika Syariat itu dijalankan tanpa adanya pemerintahan yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah dengan tangan Shulthan sebagai alat pemaksanya?. Jawabannya tentu saja TIDAK, sebab seperti diketahui bahwa ada sebagian syari’at dalam islam yang pelaksanaannya tidak dapat dimungkinkan tanpa adanya Shulthan (Kekuasaan) seperti negara, dalam hal seperti Hukum Pidana sejenis Hudud, Ta’zir, dan Qishash, Negaralah yang melaksanakannya[9] bukan segolongan orang saja.

Disamping itu juga terdapat kaidah Ushul Fiqh yang mengatakan bahwa, “Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu menjadi wajib.”[10], contoh sederhananya seperti pada Wudhu dan Shalat; Shalat merupakan suatu hal yang wajib karena merupakan salah satu perintah Allah berupa ibadah Mahdhoh, sedangkan shalat itu sendiri tidak akan sah jika tanpa Wudhu, maka Wudhu itu pun menjadi wajib pula hukumnya. Begitu juga dengan bernegara dalam Islam, menjalankan syari’at Allah secara Kaffah merupakan sebuah kewajiban, namun dari seluruh syaria’t yang ada terdapat sebagian syari’at yang tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya Shulthan (Kekuasaan/Kekuatan), sedang kekuasaan dan kekuatan hanya dapat diraih secara efektif melalui mekanisme bernegara, maka jika ditarik kesimpulan bernegara dalam Syari’at Islam merupakan suatu hal yang WAJIB.

Perhatikan juga mengenai dalil-dalil tentang wajibnya menegakan khilafah (negara) bagi kaum muslimin, sebagai berikut[11]:
1. Nabi saw adalah seorang Rasul dan juga sebagai kepala negara. Meneladani beliau dalam kapasitasnya sebagai kepala negara adalah suatu kewajiban. Sabda Rasulullah saw:
“Aku meninggikan bagi kalian sesuatu yang apabila kalian pegang teguh maka kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunah”.
Sedangkan perbuatan beliau sebagai kepala negara merupakan salah satu Sunahnya.
2. Sabda Rasulullah saw:
“Barangsiapa yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya adalah (seperti) mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah saw:
“Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. “ (HR. Muslim)

3. Ijma’ (kesepakatan/konsensus) para sahabat, setelah Rasulullah saw wafat, atas pembai’atan Abubakar Shiddiq, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan serta Ali.
4. Firman Allah Swt:
Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri diantaramu. (QS. An-Nisa [4]:59)

Imam Al Mawardhi berkata, Bahwa pengangkatan imam (khalifah) dalam negara hukumnya wajib berdasarkan Syariat, dan bukan berdasarkan akal. Sebab imam (khalifah) itu bertugas mengurusi urusan-urusan agama, dan bisa jadi akal tidak mengategorikan imamah (kepemimpinan) sebagai ibadah, kemudian tidak mewajibkan imamah (kepemimpinan) tersebut. Akal hanya menghendaki hendaknya setiap orang dari orang-orang berakal melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan hubungan. Serta bertindak dengan adil dalam pelayanan dan komunikasi, kemudian ia bertindak dengan akalnya sendiri dan bukan dengan akal orang lain. Namun Syariat menghendaki bahwa segala persoalan itu harus diserahkan kepada pihak yang berwenang dalam agama. Allah Azza wa Jalla berfirman[12],
“Hai orang-orang yang beriman , taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” ( An-Nisa: 59).

Wajibnya bernegara dalam Islam juga tidak terlepas dari kondisi yang melanda sebagian besar umat saat ini, dimana kerusakan benar-benar merajalela hingga melanda seluruh bidang kehidupan, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Shadiq Amin dalam bukunya bahwa beberapa tanda kerusakan benar muncul pada 2 hal, yaitu: Kerusakan pada Hukum & Politik dan Kerusakan dalam kehidupan Sosial[13], dikatakan juga dalam bukunya, diriwayatkan Yahya bin Katsir berkata, “Seorang laki-laki melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sementara itu seseorang berkata kepadanya, ‘Uruslah dirimu sendiri, karena orang yang zalim takkan memberi petaka kecuali pada dirinya sendiri.’ Abu Hurairah berkata, ‘Engkau telah berdusta! Demi Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya, dan demi jiwaku yang berada dalam genggaman tangan-Nya, sesungguhnya, burung-burung menjadi lemah dan mati dalam sangkarnya karena kezaliman orang yang zalim.”[14]

Jika telah kita ketahui bahwa tiada jalan lain untuk memperbaiki semua itu serta mengubah realita ini kecuali dengan menegakan Negara Islam yang memberikan kekuasaan bagi Dien Allah, menjalankan syariat-Nya, melindungi nyawa, anak, bumi, dan harta kaum Muslimin, maka Islam menjadikan pemerintahan sebagai salah satu rukunnya. Pemerintahan, dalam kitab-kitab fiqh, termasuk masalah aqa’id dan ushulu’ddin. Bukan masalah fiqhiah dan cabang. Bahkan Nabi saw menjadikan pemerintahan sebagai salah satu ikatan Islam. Barangsiapa mengingkari masalah ini maka dia menjadi kafir dan keluar dari millah[15].

Apabila telah kita ketahui bahwa tanggung jawab menegakkan Daulah Islamiyah berlaku bagi setiap Muslim dan Muslimah- bukan hanya tanggung jawab para pemimpin dan ulama’ – maka adalah kewajiban setiap Muslim dan Muslimah untuk berperan serta dan berpartisipasi dalam melaksanakan perintah Islam ini, Orang-orang yang membatasi perjuangannya pada aspek keilmuan, ibadah ritual, dzikir, atau amal kebaikan; tanpa berusaha menunaikan kewajiban menegakan Daulah Islamiyah, mereka tetap berdosa serta belum melaksanakan kewajiban. Ilmu dan peribadatan tidak bermanfaat jika kaum muslimin tetap menjadi “makanan empuk” musuh-musuh Allah yang selalu menodai kehormatan. Toh pada akhirnya musuh-musuh Islam itu akan melarang para “ahli ibadah” dan “pengemban ilmu” tersebut melakukan kegiatan ibadah dan ilmunya, kemudian membentuk anak-anak Islam dengan prinsip-prinsip non-Islami secara murni.[16]

Sedangkan untuk mengukur ada tidaknya Islam di suatu negeri dahulu, dapat dilihat dari sistem hukum di negeri itu. Jika yang berlaku sistem hukum syariat, berarti Islam hidup di negeri tersebut. Sebaliknya, bilasistem hukum yang berlaku bukan syariat, pertanda kuat bahwa Islam tidak ada di negeri itu[17].

Bentuk boleh berubah, tapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariah Allah Swt.. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah mengalami berbagai perubahan[18]. Yang permanen dalam politik Islam adalah fungsi negara sebagai instrumen penegak syari’at Allah. Adapun bentuk negara, mulai dari khilafah, dinasti, hingga negara bangsa, dan sistem pemerintahannya, mulai dari perlementer, presidensial hingga monarki , semua tetap dapat diakomodasi selama negara itu menjalankan fungsi dasarnya[19].







[1] Said Hawwa, Al Islam, (Jakarta: Al I’thisom Cahaya Umat), 2002, Hal 138.
[2] Ibid. Hal 134.
[3] Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, At-Tanbiihaat al Mukhtasharah Syarh al-Waajibat al-Mutahattimaat al-Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah; Penjelasan hal-hal yang wajib diketahui oleh setiap Muslim dan Muslimah, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i), 2004, hal.110.
[4] Ibid. Hal. 259.
[5] Ibid.
[6] Dr. Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit; Peluang dan Tantangan Syariat Islam Pasca kejatuhan Soeharto, (Bandung: Syamiil Cipta Media), 2006, Hal 108.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikri al-Islami; Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), 2002, Hal 129.
[10] Husain bin Muhammad bin Ali Jabir, Ath Thoriq ila Jama’atil Muslimin; Menuju Jama’atul Muslimin: Robbani Press, (Jakarta), 2001. Hal 26.
[11] Hussain Abdullah, op.cit., Hal 118-119.
[12] Imam Al Mawardi, AlAhkam Assulthaniyah;” Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam,”(Jakarta: Darul Falah), 2006. Hal 2.
[13] Dr. Shadiq Amin. Ad-Da’wah Al-Islamiyah Faridhah Syar’iyah Wadharurah Basyriyah; Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal: Al I’thisom Cahaya Umat. Jakarta. 2006. Hal 8-9.
[14] Ibid. Hal. 36.
[15] Syaikh Musthafa Mahsyur, Min Fiqhi ad-Da’wah; FIQH DAKWAH: Al I’thisom Cahaya Umat, (Jakarta), Hal 215.
[16] Ibid.
[17] Daud Rasyid, op.cit., Hal 108.
[18] H.M. Anis Matta, Dari Gerakan Ke Negara, (Jakarta: Fitrah Rabbani), 2006, Hal 5.
[19] Ibid. Hal. 11.

Jumat, 09 Mei 2008

Majelis Permusyawaratan Rakyat


Analisis Kedudukan dan Fungsi MPR
Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Dihubungkan dengan Konsep Kedaulatan Rakyat

Oleh: Muhamad Ilham, FHUI 05

Bab I
Bentuk dan Kedaulatan

PASAL 1.
Konsep kedaulatan rakyat dapat kita perbandingkan pada Pasal 1 ayat 2 di bab ini, dimana pada awalnya sesuai dengan naskah asli UUD 1945, pasal ini berbunyi:

Pasal 1
(2) Kedaulatan adalah di tangan Rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.(naskah Asli).

Dari bunyi ayat 2 pasal 1 ini dapat diketahui bahwa pada awalnya MPR lah sebagai satu-satunya lembaga tertinggi negara yang dianggap sebagai representasi dari kedaulatan rakyat, sehingga secara struktural tidak ada yang lebih tinggi dari MPR sedang lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, dan MA berada pada hierarki bawah lembaga ini.
Namun berbeda dengan apa yang terjadi setelah UUD 1945 naskah asli di ubah hingga sebanyak 4 kali, ketentuan pada bagian ini pun ikut berubah, yakni:

Pasal 1
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. (Hasil Perubahan ketiga).

Dengan perubahan ini MPR tidak lagi memiliki kedudukan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat karena disamping MPR ada pula lembaga-lembaga negara lain yang juga merupakan pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat. Sehingga dalam hal ini, tidak lagi dikenal istilah lembaga tertinggi negara sebab kedudukan MPR pun saat ini juga dapat disejajarkan dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Meski sepintas terlihat adanya pengurangan kekuasaan yang bersifat absolut dari MPR, namun kedudukan kedaulatan rakyat pasca perubahan ini menjadi tidak jelas, jika pada naskah asli sebelum perubahan dapat dijumpai bentuk konkret dari suatu istilah kedaulatan rakyat yaitu MPR, maka yang terjadi setelah perubahan (amandemen) adalah abstraknya kedaulatan rakyat itu sendiri, sebab di dalam UUD pasca amandemen hanya disebutkan “Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut undang-undang. “
Sekalipun menurut Prof. Gimly Asshiddiqie, tetap diperlukan penekanan kata-kata “....dilakukan menurut UUD atau berdasarkan ketentuan konstitusi”, sebagai bentuk penegasan atas dianutnya prinsip ‘Constitusional Democracy’/Demokrasi konstitusional
[1], namun hal itu tetap tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai biasnya bentuk konkret dari dianutnya konsep kedaulatan rakyat oleh UUD 1945.
Sehingga dari bab ini tidak jelas apakah terjadi reduksi atau bahkan penguatan dari konsep kedaulatan rakyat itu sendiri.

Bab II
Majelis Permusyawaratan Rakyat

PASAL 2.
Dimulai dari pasal 2 dapat langsung dijumpai adanya pergeseran konsep tentang kedaulatan rakyat yang berubah, pada bunyi pasal 2 ayat 1 naskah asli disebutkan:

Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.(naskah asli).

Maka dalam naskah asli ini, 3 fungsi yang seharusnya ada dalam suatu lembaga perwakilan, yaitu 1.Political Representatives (DPR) , 2.Regional Representatives (Perwakilan atau Utusan Daerah) , dan 3.Functional Representatives (Utusan golongan)
[2] telah terpenuhi.
Berbeda dengan yang terdapat dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 pasca amandemen, yaitu:

Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. (Hasil Perubahan keempat).

Dengan ketentuan baru ini, maka eksistensi utusan golongan dihapus dari sistem perwakilan berpilar tiga seperti yang diadopsi oleh UUD 1945. Dari hal ini dapat diketahui bahwa paling tidak ada satu unsur yang tidak terwakili di lembaga perwakilan kita, dan itu juga berarti konsep kedaulatan Rakyat mengalami reduksi pada pasal ini.

PASAL 3.
Jika pada pada naskah asli kewenangan MPR begitu signifikan maka lain halnya pada saat setelah perubahan. Seperti bunyi pasal 3 naskah asli, yaitu:

Pasal 3
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara.(Naskah asli).

Begitu signifikannya sehingga ada 2 komponen utama negara ini pada saat itu, yaitu UUD dan GBHN dapat diubah dibawah kewenangan dan mekanisme MPR. Dengan kata lain MPR sebagai representasi konkret kedaulatan rakyat pada masa itu memiliki fungsi yang sangat substansial dan penting.

Namun perbedaan drastis dengan sebelumnya justru terjadi pada perubahan Undang-Undang Dasar pasca amandemen ke empat. Dimana pasal yang baru terdiri dari tiga ayat yang sebagian besar isi ayat tersebut adalah tugas-tugas MPR secara formil saja, seperti; melantik dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, satu-satunya kewenangan yang masih cukup signifikan hanya ada pada ayat 1, yaitu berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.(Hasil Perubahan Ke tiga).
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.(Hasil Perubahan ke tiga).
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.(Hasil Perubahan ke tiga).

Oleh karena itu dapat diketahui bersama bahwa telah terjadi reduksi atas konsep kedaulatan rakyat pada bagian ini sebagai konsekuensi dari dikuranginya kewenangan MPR.

Dari sedikit ulasan mengenai dua Bab di dalam UUD 1945 di atas yang menyangkut MPR, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pasca terjadinya Amandemen Konstitusi di negara kita, konsep kedaulatan Rakyat di dalam MPR mengalami penurunan, dengan tidak terlalu signifikannya kewenangan dan kedudukan MPR saat ini.

[1] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia), 2002, Hal 2.
[2] Hendra Nurtjahjo, Perwakilan Golongan Di Indonesia; Pembahasan Eksistensi Utusan Golongan dalam susunan MPR, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia), 2002, Hal 51.

Tulisan Untuk UI


Entah sudah berapa banyak peran-peran yang dilakukan UI sejauh ini?, entah sudah sejauh mana kontribusi yang dirasakan oleh umat darinya?, entah bagaimana kualitas peran tersebut dari masa ke masa?, entah juga sampai kapan lagi peran-peran itu masih dapat bertahan dan terus dilanjutkan?.

UI, kini Milad-mu datang lagi, memang bukan hal luar biasa sebab selalu berulang dari masa kemasa, karena juga inilah siklus yang harus terjadi, namun beberapa pertanyaan mengenaimu selalu saja ada. Satu yang paling mewakili semuanya, adalah Bagaimana peranmu saat ini untuk kehidupan Umat?. Sepertinya tidak ada jalan lain untuk menjawab pertanyaan tersebut, kecuali hanya dengan melihat kembali perjalanan UI kebelakang , dari masa-masa sebelum saat ini, dari masa-masa dimulainya peran tersebut timbul.

Evaluasi adalah kata yang cukup memberikan titik terang untuk melakukan itu semua. Cukup lama UI berjalan dari dulu hingga sekarang, mudah-mudahan begitu juga dengan perannya. Dimulai dari gerakan-gerakan yang sembunyi-sembunyi hingga pada sifat terang-terangan dimana setiap mata dapat melihatnya, dimana setiap telinga bisa mendengarnya, aksi-aksi dan teriakan-teriakan di jalan dengan intensitas yang tinggi juga seringkali dilakukan, untuk apa? Untuk umat Katanya, unjuk rasa- unjuk rasa frontal sering ditujukan kepada pihak-pihak tertentu, sekali lagi untuk umat. Namun apa semua itu umat rasakan manfaatnya, tanyakan sendiri pada mereka!. Mungkin semua hal tadi adalah cara-cara yang dilakukan UI dengan para pendahulunya, mungkin saja keseluruhan aktivitas tadi juga merupakan cara yang efektif pada masanya, karena memang tidak ada cara lain yang signifikan maka itulah yang UI lakukan dulu.

Lalu bagaimana dengan sekarang?, masihkah keadaan tersebut tidak berubah?, Apakah cara-cara seperti itu masih yang paling efektif?, mungkinkah dunia ini masih juga statis terhitung sejak cara-cara tadi ditempuh?, haruskah UI merubah caranya?, masihkah ada cara-cara yang lebih sesuai dengan perkembangan masa?. Lihatlah sekitar!, bangun!, jangan terlalu terlena dengan nostalgia masa lalu!, lihatlah karena semuanya telah berubah, tentu saja UI tidak akan bisa jika terus menggunakan cara-cara lama, tentu saja dari hari kehari keefektifannya akan berkurang terus, terus, dan terus. Carilah metode baru, gaya baru, tapi juga tetap tidak melanggar pakem-pakem yang ada, mari kita ganti Aksi-aksi dengan Tulisan-tulisan yang lebih menunjukkan peran UI dalam memperjuangkan umat, mari kita buat rancangan solusi dalam bentuk apapun dan kita ajukan kepada para penguasa untuk menjalankannya daripada hanya berteriak di luar, sudah saatnya kita menolak sesuatu tetapi juga menawarkan alternatif solusi bukan hanya sekedar penolakan-penolakan yang sifatnya reaktif dan tanpa solusi. UI, jadilah lebih cerdas, bertahan pada cara-cara lama bukanlah pilihan yang bijak, merubah dan membudayakan yang baru yang lebih efektif bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan, karena dunia ini tidak akan menunggu kita lah yang harus mengejarnya. Terakhir, jangan juga lupakan evaluasimu, lihat sekitar tapi juga lihat dirimu, sudahkah kau lebih baik dari kemarin, jika benar maka beruntunglah, ataukah sama saja dengan hari kemarin, maka merugilah, ataukah bahkan lebih buruk, sungguh celakalah.

Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia:
Relativisme yang paling mungkin...
Oleh: Muhamad Ilham, FHUI 05 – Konsentrasi Hukum Tata Negara

Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari droits de I’homme dalam bahasa perancis yang berarti “Hak Manusia”, atau dalam bahasa Inggrisnya human rights, yang dalam bahasa Belanda Menselijke rechten. Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa belanda[1].

Bicara mengenai HAM, maka kita juga tidak bisa telepas dari tiga arus utama yang mewakili penadapat umum tentang pengertian HAM di dunia saat ini, yaitu:
Aliran Natural Rights
Aliran Positivis
Aliran Relativisme
Pada dasarnya kemunculan tiga aliran di atas merupakan akibat dari tiadanya batasan yang pasti bagaimana HAM itu sendiri.

Natural Rigths beranggapan bahwa pada dasarnya HAM itu telah ada dari awal, bahwa HAM adalah hak dasar yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia dan yang dapat mengambilnya kembali hanyalah Tuhan itu sendiri. Aliran ini menjunjung tinggi HAM sebagai suatu hal yang benar-benar tidak bisa diganggugugat dan sifat itu melekat pada setiap orang tanpa terkecuali.

Kelebihannya adalah karena mereka membuka seluas-luasnya Apresiasi kepada HAM baik dalam pengertian maupun praktek, dengan pemahaman tersebut maka terlihat seolah-olah tidak ada batasan yang pantas bagi HAM. Negara-negara di sebagian benua eropa adalah contoh konkret adanya pemahaman aliran ini, dimana hal yang paling sering menjadi perdebatan yaitu mengenai Dead Penalty (Hukuman Mati).

Lain lagi dengan Aliran Positivis yang menganggap HAM itu baru ada setelah diakui oleh Undang-Undang atau peraturan yang berlaku, sehingga konsekuensi logis yang terjadi adalah jika suatu Undang-Undang atau peraturan melakukan pencabutan terhadap HAM itu sendiri, maka hal tersebut sah-sah saja.

Aliran ini seringkali menjadikan isu Penegakan HAM sebagai justifikasi terhadap pendapatnya, sebab mereka beranggapan bahwa tidak ada kemungkinan bagi HAM untuk bisa tegak kecuali dengan Peraturan atau Hukum. Adalah suatu hal mustahil jika HAM hanya hidup secara kultural dan tanpa perangkat hukum yang konkret.

Sedangkan aliran Relativisme mengatakan bahwa HAM itu nilai-nilainya diakui secara universal, namun bentuk dari HAM sendiri relatif/tergantung pada budaya dan tradisi masing-masing entitas baik negara, bangsa, atau suku.

Dua titik ekstrem yang terjadi antara Natural Rigths dan Positivis merupakan bentuk bentuk benturan dari Konsep Idealitas dan Fakta Realitas. Natural rights bicara pada tataran yang terlalu ideal atau bisa dikatakan melangit sehingga akibat yang seringkali terjadi ada pada tahap untuk mengaplikasikannya. Perasaan tidak logis juga terkadang tersirat pada sanksi hukum yang diberlakukan oleh negara-negara penganut Natural Rights, pada saat dijumpai banyaknya tindakan pidana yang dilakukan namun dibalas dengan hukuman yang justru tidak memenuhi rasa kemanusiaan itu sendiri,

sebagai contoh: Jika ditanyakan kepada tiap orang, apa hukuman yang paling pantas bagi seorang kriminal yang telah melakukan tindak pidana, berupa Penganiayaan, Pemerkosaan, Pembunuhan, serta Perampokan kepada salah satu dari anggota keluarga kita, entah Ibu, kakak, atau adik perempuan, di depan mata kepala kita sendiri?, sedang kita pada saat itu kita dalam keadaan tidak berdaya, karena diikat atau dilumpuhkan.
Tentu saja Hukuman Matilah (Dead Penalty), yang paling pantas diberlakukan jika memang betul-betul terbukti, sebab dirasa hal itu yang paling memenuhi rasa keadilan dan HAM. Namun, hal ini tidak berlaku bagi negara-negara yang beraliran Natural Rights sebab bagi mereka tidak ada alasan apapun untuk bisa merebut hak hidup seseorang termasuk seorang terpidana yang telah melakukan tindakan seperti di atas kecuali hanya Tuhan saja, maka tidak heran jika seringkali dijumpai hukuman penjara yang berjangka waktu hingga ratusan tahun sebagai pengganti hukuman mati sebagai konsekuensi dianutnya Natural Rights.

Lain lagi dengan yang terjadi di Indonesia misalnya, sudah berulangkali diajukan upaya judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang yang dianggap melanggar HAM karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 lantaran mencantumkan Hukuman mati sebagai salah satu pilihan hukumannya, namun sebanyak itu pula upaya tersebut terus kandas, dari mulai UU tentang Terorisme hingga UU Tetang Narkotika tidak satupun yang dikabulkan MK untuk diubah, sekalipun pada UUD 1945 pasca Amandemen terdapat bagian tersendiri tentang HAM, yakni BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, hal itu tetap tidak mempengaruhi putusan MK

Sedangkan Positivis dirasa terlalu sempit dengan hanya membatasi HAM pada kenyataan ada atau tidaknya HAM itu sendiri di dalam hukum dengan terlalu banyak melihat hanya pada penegakannya, sehingga seolah-olah menafikan sifat HAM yang kodrati. Padahal menurut John Locke, sebab tidak dicantumkannya secara tuntas materi hak-hak itu dalam suatu Konstitusi negara, disamping karena hak-hak asasi itu bersifat kodrati dan sudah ada sejak manusia dilahirkan, selain itu karena sesuai dengan teori persetujuan masyarakat bahwa hak-hak itu tidak tergantung kepada ketentuan konstitusi.

Apabila hak-hak itu dicantumkan dalam konstitusi secara terperinci dan limitatif, hak-hak itu dapat mempunyai sifat yang lain, tidak lagi sebagai hak-hak yang kodrati dan pra-konstitusional. Konsekuensinya, akan menimbulkan pembatasan-pembatasan tertentu, yang juga berlaku bagi pembentuk konstitusi. Hak-hak itu lalu akan menimbulkan kekuatan hukum yang sama seperti ketentuan konstitusi lainnya, yang memberikan jaminan kepada warga negara terhadap alat-alat kelengkapan negara yang terbentuk berdasarkan ketentuan konstitusi itu, tapi tidak terhadap pembentuk konstitusi itu sendiri[2].

Beberapa hal tadi menunjukkan bahwa betapa HAM itu memiliki interpretasi yang sangat luas bagi tiap-tiap entitas baik negara, bangsa, atau suku. sekalipun The Universal Declaration of Human Rigths telah diterima secara aklamasi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 Resolusi 217 A (III), namun tidak berarti secara mutlak seluruh masyarakat dunia menerima konsep HAM versi deklarasi tersebut secara penuh.

Sebagai bukti terhadap perbedaan ini pernah diungkapkan Kepala Yudikatif Iran Ayatollah Hashim Ashemi Asshahroudi di dalam seminar yang diadakan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI pada tahun 2007, beliau menanggapi hegemoni serta dominasi yang sedang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada sebagian besar negara dunia , yakni:
“Amerika memaksakan pemahaman mereka tentang HAM kepada banyak pihak terutama kepada negara-negara muslim, tentu saja hal ini tidak dapat diterima sebab Islam memiliki pengertian dan pemahamannya sendiri tentang HAM, apa yang dipandang sebagai HAM oleh Amerika tidak selalu sejalan dengan pemahaman Islam tentang HAM, maka bagaimanapun juga tidak ada hak bagi mereka untuk memaksakan kehendak tentang HAM bagi siapapun”
Bagaimanapun HAM merupakan hal yang sangat kompleks dan multitafsir, keberlakuannya diserahkan pada masing-masing entitas yang akan melaksanakannya, pemaksaan terhadapnya baik secara konsep maupun praktek adalah bentuk pelanggaran terhadap HAM itu sendiri, kita bisa saja bersepakat tentang nilai-nilai yang ada pada kata juga istilah HAM, namun mustahil rasanya pada tataran aplikasi atau bentuk-bentuk penerapannya kita juga akan mencapai kesamaan penafsiran.

Perbedaan antara negara-negara Natural rights dengan Interpretasi Mahkamah Konstitusi Indonesia tentang Hukuman Mati (Dead Penalty) adalah satu bukti nyata bahwa Tidak satupun negara yang mau untuk dipaksakan mengenai pemahaman yang mana mengenai HAM yang harus dia anut, apakah Natural Rights atau Positivis?, apakah dengan menyerahkan sepenuhnya kebebasan HAM itu pada tuhan saja atau membatasinya dengan Hukum dan perangkat aturan lain yang berlaku?, semuanya bisa saja sepakat dalam nilai tetapi tidak pada bentuknya.

Itulah paling tidak yang sedang terjadi pada HAM di dunia saat ini, bahwa pernah ada kesepahaman di antara bangsa-bangsa di dunia tentang HAM, namun tidak ada yang pernah bisa memastikan bahwa penerapan pada masing-masing entitas juga akan sama.


[1]Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia), 1983, Hal 7.

[2] Ibid, Hal 3.

Partai Politik


Tulisan tentang Partai Politik
Oleh: Muhamad Ilham
(Mahasiswa FHUI-Konsentrasi Hukum Tata Negara)

a. Pendahuluan
Diawali pada negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis, kegiatan politik pada mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini sejatinya bersifat elitis dan aristrokasi, dengan mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan raja-raja, pada perkembangan selanjutnya dengan meluasnya hak pilih kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Oleh karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, kelompok-kelompok politik dalam parlemen serta panitia-panitia pemilihan yang sepaham dengan kepentingannya bermetamorfosa menjadi apa yang kita kenal pada saat ini sebaga Partai Politik. Meski, pada awalnya pun partai politik tidak selalu berada di dalam parlemen, ada beberapa catatan sejarah yang membuktikan bahwa beberapa entitas parpol didirikan di luar parlemen terutama pada daerah jajahan dan kejadian ini biasa terdapat pada masa Kolonialisme dan Imperialisme.
Apa itu Partai Politik? Cukup banyak para ahli yang telah memberikan definisi terhadap istilah tersebut, dibawah ini beberapa pendapat tentang definisi parpol tersebut:

Miriam Budiarjo, partai politik adalah;
Suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (dengan cara konstitusionil) untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

Carl J. Friedrich;
Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.

R.H. Soltau;
Sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka.

Dari tiga pendapat ahli di atas, paling tidak ada beberapa unsur penentu yang menjadi kesamaan bagaimana suatu entitas itu dikatakan partai poltik, yakni:
Sekelompok Orang (Lebih dari satu orang/jamak).
Terorgansir
Memiliki orientasi, dan
Untuk tujuan politik (Merebut Kekuasaan)

Perlu diketahui bahwa Partai Politik berbeda dengan Gerakan (Movement). Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau kadang-kadang malahan ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik. Dibanding dengan partai politik, gerakan mempunyai tujuan yang lebih terbatas dan fundamentil sifatnya, dan kadang-kadang malah bersifat ideologi. Orientasi ini merupakan ikatan yang kuat diantara anggotanya dan dapat menumbuhkan identitas kelompok yang kuat. Berbeda dengan partai politik, sebuah gerakan sering tidak mengadu nasib dalam pemilihan umum.
Partai Politik juga berbeda dengan kelompok penekan (Pressure Group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest Group). Kelompok ini bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu “Kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapat keputusan yang menguntungkan atau menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam parlemen, melainkan cukuo mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah lainnya.

b. Fungsi-fungsi Partai Politik.
Kegiatan partai politik memang bergantung pada kelompok yang ada di dalamnya, namun secara garis besar ada beberapa fungsi yang seharusnya dijalankan sebuah partai politik dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang berorientasi pada kekuasaan, antara lain:

1. Sosialisasi Politik
Proses untuk memperoleh sikap dan orientasi politik yang berlaku di masyarakat, dimana tiap-tiap masyarakat memiliki caranya sendiri dalam mensosialisasikan kehidupan politiknya.

2. Partisipasi Politik.
Yaitu Mobilisasi warga negara atau masyarakat untuk ikut serta dalam kehidupan politik, baik dalam memilih wakilnya atau dipilih sebagai wakil masyarakatnya.

3. Rekruitmen Politik.
Partai Politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partainya, dengan menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang kemudian akan ditempatkan dalam peranan politik baik dalam parlemen, kementrian, pemerintahan daerah, atau paling tidak melanjutkan kepemimpinan partainya.

4. Komunikasi Politik.
Penyaluran aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga mengurangi keseimpangsiuran pendapat dalam masyarakat.

5. Artikulasi Kepentingan.
Menyatakan atau membahasakan kepentingan mereka kepada badan-badan politik dan pemerintah melalui kelompok-kelompok yang mereka bentuk bersama orang lain yang memiliki kepentingan yang sama.

6. Aggregasi Kepentingan.
Cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.

7. Pembuat Kebijaksanaan.
Fungsi ini biasa dijalankan setelah sebuah parpol memegang kendali pemerintahan, dimana parpol tersebut akan membuat kebijakan dalam bidang legislatif maupun eksekutif sesuai dengan pengaruh yang dimilikinya.

c. Klasifikasi Partai Politik.
Selain memiliki fungsi partai politik juga dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu:

c.1. Segi Komposisi dan Fungsi Keanggotaan:

a. Partai Massa
Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota; oleh karena itu biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Kelemahan yang terjadi adalah bahwa partai massa cenderung untuk memaksakan kepentingan masing-masing, terutama pada saat kritis, sehingga persatuan partai menjadi lemah atau hilang sama sekali sehingga salah satu golongan memisahkan diri dan mendirikan partai lain.

b. Partai Kader
Partai Kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan

c.2. Segi Sifat dan Orientasi:

a. Partai Lindungan (Patronage Party)
Partai Lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun organisasi di tingkat lokal cukup ketat), serta disiplin yang lemah. Maksud utama ialah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya, karena itu hanya giat menjelang masa-masa pemilihan. Contoh: Partai Demokrat dan Republik di AS.

b. Partai ideologi atau Partai Azas (Programmatic Party)
Partai Ideologi atau partai azas (Sosialisme, Fasisme, Kamunisme, Kristen-Demokrat, Islam, dll) biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui beberapa tahap percobaan.

c.3. Segi Sistem Kepartaian- oleh; Maurice Duverger:

a. Sistem Partai Tunggal (one-party system),
Dimana hanya ada satu partai yang berkuasa dalam suatu negara, suasana yang diciptakan pun sifatnya non-kompetitif oleh karena partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu. Kecendrungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal disebabkan karena pada negara-negara baru para pimpinannya sering dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan pelbagai golongan, daerah serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikuatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini dibiarkan besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan.
Contoh: Uni Soviet, RRC, Negara Eropa Timur lainnya, dll.

b. Sistem dwi-Partai (two party system)
Satu Partai berperan sebagai pengendali pemerintahan yaitu bagi partai yang menang, sedangkan bagi partai yang kalah berperan sebagai oposisi loyal, dengan kesadaran bahwa peranan ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Sistem yang juga biasa disebut “a convinient system for contented paeople” dapat berjalan baik apabila terpenuhi 3 syarat berikut:
Komposisi masyarakat adalah homogen (Social homogenity)
Konsensus dalam masyarakat mengenai azas dan tujuan sosial yang pokok sangat kuat.
Adanya Kontunuitas Sejarah.

C. Sistem Multi Partai (multy party system)
Biasa dipraketkan pada komposisi masyarakat yang sangat majemuk, sehingga dirasa jumlah partai sedikit tidak cukup mewakili kepentingan masyarakat yang banyak itu.

PENGATURAN ZAKAT DI INDONESIA

POSITION PAPER
PENGATURAN ZAKAT DI INDONESIA
Oleh: Muhamad Ilham, FHUI 05.
PENDAHULUAN

Dari mulanya penduduk Negara Republik Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai macam entitas yang ada, mulai dari Agama, Ras, Daerah, atau bahkan suku. Hal itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jati diri bangsa ini, dan selama itu pula negara selalu terus berupaya untuk mengakomodir dan mensinergikan berbagai kemajemukan tersebut.

Umat Islam di Indonesia merupakan bagian dari salah satu komponen kemajemukan itu, dari mulai pembentukan negara ini umat islam telah turut ambil bagian melalui upaya-upaya kemerdekaan. Dan pada akhirnya hasil signifikan juga berhasil di raih oleh negara ini berupa berdaulatnya secara penuh Republik Indonesia, tentunya juga karena perjuangan yang dilakukan oleh umat islam. Sejak negara ini berdiri, jumlah umat islam secara kuantitas sudah mendominasi bahkan hingga saat ini yaitu sekitar 90% dari total penduduk indonesia. Keberadaan dan eksistensi umat islam di indonesia telah diakui secara mutlak oleh institusi negara.

Bunyi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ketiga yang berbunyi “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa....” merupakan bukti pengakuan terhadap umat Islam, selain itu Isi dari Sila Pertama Pancasila tentang ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 tentang kebebasan beragama turut memperkuat bahwa negara ini bukan negara sekuler yang memisahkan urusan agama dengan pemerintahan, melainkan negara Ketuhanan yang menghargai dan melindungi hak rakyatnya untuk memeluk keyakinannya.

Setelah semua itu, selanjutnya adalah sebuah kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan komitmen yang telah diperintahkan oleh UUD 1945 tentang persoalan agama ini. Aspek yang harus dipenuhi dalam ajaran Islam bukan hanya mengenai Akhirat tapi juga Duniawi, bukan hanya sekedar Ibadah tetapi juga jual beli, bukan hanya sekedar keteguhan aqidah tetapi juga kesejahteraan perut. Di dalam Islam salah satu aspek dunawi yang berhubungan dengan masalah hak yang wajib dipenuhi adalah Zakat. Dimana zakat sendiri merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang sudah memenuhi syarat, zakat juga salah satu dari 5 rukun Islam setelah Shalat. Menurut Syari’at, Zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Sederhananya, zakat merupakan salah satu dari beberapa mekanisme penyaluran harta dalam islam dari yang mampu secara ekonomi kepada yang kurang mampu, hanya saja untuk zakat ini sifatnya Wajib.

PENTINGNYA ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT

Paling tidak ada dua alasan mendasar yang menyebabkan Zakat menjadi sangat penting untuk segera diberdayagunakan, yaitu:
Kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Potensi besar yang ada pada zakat.


Pertama, yaitu mengenai kondisi kesejahteraan masyarakat indonesia saat ini. Sepertinya bukan suatu rahasia lagi bahwa negara dan bangsa ini telah mengalami berbagai ujian pelik dan menyulitkan pasca krisis tahun 1997. Dan selama itu pula bangsa kita secara umum benar-benar mengalami penderitaan yang luar biasa terutama dalam hal materi, hingga saat ini pun pemerintah masih belum sanggup untuk sekedar memenuhi hak-hak dasar rakyatnya, dari mulai Kebutuhan pangan, Pelayanan kesehatan, hingga Pendidikan, masih banyak masalah yang belum terpenuhi bahkan pada batasan minimal. Masih banyak kita dengar berita tentang rakyat yang mengkonsumsi nasi aking karena tak bisa membeli beras, juga masih ada rakyat kita yang tidak bisa baca tulis karena tidak sekolah dengan alasan biaya, begitu juga dengan angka kemiskinan dan pengangguran yang tidak pernah turun secara siginfikan bahkan cenderung bertambah. Celakanya lagi, APBN yang pemerintah anggarkan tiap tahunnya, hampir sepertiganya digunakan untuk membayar hutang luar negeri bukan untuk kesejahteraan rakyat. Maka dengan kondisi lapangan yang sebegitu parah pemerintah perlu penyelesaian konkret yang juga efektif untuk mengurai benang kusut ini.


Kedua, masih berkaitan dengan kondisi sebelumnya, yaitu potensi besar yang ada pada zakat. Bagaimanapun juga pemerintah memerlukan alternatif penyelesaian masalah dalam mengatasi persoalan kesejahteraan rakyat dan memenuhi tanggung jawabnya sebagai pengayom masyarakat, maka untuk itulah zakat hadir.

Seperti yang telah dikatakan di atas, mengingat lebih dari 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam maka Tak bisa dipungkiri lagi bahwa potensi zakat yang ada di masyarakat cukuplah besar, secara logika pun bisa ditebak jika ini adalah sebuah kewajiban agama dan seluruh umat Islam yang telah memenuhi syarat menjalankannya, dapat dibayangkan seberapa besar potensi yang terkandung secara ekonomis yang ada di dalam zakat. Direktur Pusat Konsultasi Syari’ah, Bukhari Yusuf Lc. MA menyatakan peran zakat di indonesia sangat besar bila digunakan untuk mengatasi persoalan bangsa, yang penting tidak boleh digunakan untuk membayar hutang negara, ia menjelaskan yang penting dari peran zakat adalah bagaimana bisa memberdayakan ekonomi kerakyatan, zakat bisa memperbanyak jumlah orang yang berzakat, selain itu dikatakan selanjutnya hal penting dari peran zakat adalah juga bagaimana zakat bisa mengatasi masalah kemiskinan dan kefakiran.

Berdasarkan hasil lembaga Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), potensi zakat di Indonesia adalah sekitar Rp20 triliun per tahun tetapi yang sudah dikelola belum mencapai Rp1 triliun per tahun. Namun baru dari kurang lebih Rp 1 triliun tersebut peran dan potensi zakat untuk mensejahterakan rakyat sudah terlihat signifikansinya. Salah satu contoh kasus yang ada yaitu seperti yang terjadi pada salah satu Lembaga Amil Zakat/Lembaga Pengumpul Zakat milik swasta, ‘Dompet Dhuafa’, Salah satu program yang dibuat DD dalam pelaksanaan pengelolaan zakat adalah dengan mendirikan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) bagi kaum Dhuafa, suatu layanan kesehatan yang diperuntukan bagi keluarga dan orang-orang yang tidak mampu dengan biaya Rp 0,-, untuk menjadi anggota LKC ini pasien hanya dimintakan membawa keterangan surat tak mampu dari kelurahan, selain itu dilakukan juga validasi oleh tim LKC dan di up date setiap 1,5 tahun sekali. Sejak berdiri dari tahun 2001, lembaga yang berlokasi di Ciputat-Banten dan memiliki tingkat pelayanan setara dengan rumah sakit swasta ini telah melayani 10 ribu keluarga , kalau setiap KK memiliki lima orang tanggungan, maka total tanggungan LKC-DD sebanyak 50 ribu orang. Sekalipun tidak semua pasien bisa dilayani di LKC, setidak-tidaknya pihak LKC akan memberikan rujukan bagi kaum dhuafa untuk berobat ke rumah sakit umum kelas tiga yang biayanya menjadi tanggungan LKC. Pengalaman mengelola LKC membuat Dompet Dhuafa (DD) menggandeng Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) mendirikan Rumah Sehat lima lantai yang terletak di jantung ibu kota, Rumah Sehat terdiri dari klinik gratis 24 jam dengan fasilitas Unit Gawat Darurat (UGD), Poli Umum, Poli Gigi, Laboratorium, apotek, dan perlengkapan USG. Sama seperti LKC, Rumah Sehat ini juga diperuntukan bagi kaum Dhuafa dan tidak dikenakan biaya sama sekali. Pendirian kedua lembaga tadi menggunakan Dana yang diambil dari Zakat yang tertampung di Lembaga Amil Zakat-Dompet Dhuafa dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).

Selain dua lembaga amil zakat di atas (Dompet Dhuafa & BAZNAS) masih terdapat banyak lagi lembaga amil zakat lainnya yang memfokuskan kegiatan mereka untuk kesejahteraan masyarakat, antara lain:


· Lembaga Amil Zakat-Bank Syariah Mandiri (LAZNAS-BSM), memfokuskan kegiatan mereka pada dorongan terhadap ekonomi kecil, yaitu dengan memberikan modal pada para pedagang dan kaki lima dalam bentuk Qardhul Hasan.


· Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Al Azhar Peduli, lebih banyak mencurahkan perhatian pada kondisi bangunan sarana ibadah seperti musholla dan madrasah-madrasah di daerah terpencil yang sangat memprihatinkan.


· Rumah Zakat Indonesia (RZI), bentuk penyaluran lain dilakukan oleh lembaga amil zakat ini dengan banyak menyalurkan dana zakatnya berupa bantuan kepada kantong-kantong kemiskinan dan korban bencana dalam bentuk makanan yang diawetkan seperti sarden.


Banyak hal yang bisa dilakukan jika zakat ini dikelola melalui lembaga dan terkoordinir pengaturannya. Semua fakta yang diungkapkan di atas tentang bentuk-bentuk konkret dari pengelolaan zakat, sekali lagi baru sejumlah 1 triliun dari seluruh dana zakat yang dihimpun oleh semua lembaga Amil Zakat yang ada tiap tahunnya, apalagi jika zakat ini dikelola secara lebih sistematis dan terkoordinir dibawah satu lembaga saja (yang diakui dan ditunjuk pemerintah) dan dengan peraturan yang lebih detail dan mengikat, sehingga kemungkinan potensi zakat yang bejumlah kurang lebih 20 Triliun tiap tahunnya dapat tercapai, sehingga akan lebih optimal jika digunakan untuk kesejahteraan Rakyat.

PERMASALAHAN PENGATURAN ZAKAT

Saat ini persoalan mengenai zakat diatur dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, selain itu juga ada peraturan pelaksana dari UU tersebut yaitu Keputusan Menteri Agama No 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Namun masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam pengaturan zakat di dalam UU ini, beberapa evaluasi dari kekurangan undang-undang ini, antara lain:


Masih terlalu globalnya pengaturan zakat di dalam UU ini, belum mencakup hal-hal yang detail sehingga sering terjadi ketidakjelasan pengaturan. Di dalam UU ini bagian yang mencakup pengaturan zakat secara khusus hanya Bab III. mengenai Organisasi Pengelolaan Zakat, Bab IV. mengenai Pengumpulan Zakat, Bab V. Mengenai Pendayagunaan Zakat, Bab VI. Mengenai Pengawasan, Bab VII. Mengenai Sanksi, yang kesemua isinya masih sangat umum, hal senada juga diungkapkan Manajer Rumah Zakat Indonesia (RZI) Cabang Jakarta Selatan, Rajin Abdul Azis, Menurutnya muatan atau isi dari Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat masih bersifat global dan belum terperinci hingga ke berbagai hal teknis. Sehingga hal ini menyebabkan tidak profesionalnya beberapa LAZ berupa pelaporan yang tidak transparan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menimbulkan menurunnya minat dan partisipasi masyarakat terhadap zakat.

Tidak adanya suatu lembaga tersendiri/khusus yang diakui dan dibentuk oleh pemerintah sebagai perumus legislasi & Pengawas untuk bidang zakat ini, agar koordinasi zakat dilakukan dapat terjadi secara terintegrasi dan menyeluruh. Yang ada di dalam UU ini pengelolaan zakat masih dilakukan secara terpisah tergantung tingkatannya berdasarkan Pasal 6 UU No.38 tahun 1999, tidak ada satu kesatuan koordinasi dari pemerintah dalam rangka pengumpulan dan penyaluran zakat. Kalaupun ada BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) ia bukan lembaga yang bisa mengatur LAZ yang lain, ia hanya lembaga amil zakat yang dibentuk pemerintah melalui Keppres No.8 tahun 2001 di tingkat nasional dan kewenangannya hanya sebatas Koordinatif, Konsultatif, & Informatif dengan LAZ lainnya. Jadi tidak ada ketentuan yang tegas mengenai Baznas selaku lembaga zakat formal di tingkat pusat.


Masih berkaitan dengan Baznas, di dalam UU No.38 tahun 1999, kedudukan Baznas setara dengan LAZ lain yang diakui oleh pemerintah, saat ini saja paling tidak ada 18 LAZ yang juga diakui oleh pemerintah, seperti:
DD (Dompet Dhuafa)
PKPU (Pos Keadilan Peduli Umat)
YDSF (Yayasan Dana Sosial Al-Falah)
RZI (Rumah Zakat Indonesia)
DPU-DT (Dompet Peduli Umat-Da’arut Tauhid)
BAZIS DKI
LAZ-Al Azhar Peduli Umat
BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah)
Dan lain-lain.


Sehingga terlihat sekali pengelolaan zakat yang tidak cukup terorganisir dan terkoordinasi dengan rapih, masing-masing LAZ bergerak sendiri-sendiri kadang bersinergi kadang tidak. Padahal idealnya Baznas seharusnya menjadi pusat lembaga amil zakat yang menjadi regulator, pengawas, serta pengumpul data terpusat dalam pemetaan Muzakki (orang yang berzakat) juga Mustahiq (orang yang menerima zakat), maka akan terlihat peran Baznas yang sesungguhnya.

Selain tiga hal di atas, terjadi masalah juga di dalam UU No.38 tahun 1999 mengenai kejelasan dan ketegasan hukuman bagi pihak-pihak yang melanggar ketentuan zakat baik Amilnya atau Muzakkinya. Yang ada di UU No.38 tahun 1999 hanyalah sanksi bagi amil yang melalaikan atau sengaja melakukan pelanggaran, pada Bab. VII pasal 21 UU No. 38 tahun 1999. Menurut Manajer Hubungan Pelanggan Yayasan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Alfiqih Taufiq, perlu pula untuk dipikirkan tentang pengenaan sanksi seperti halnya sanksi terhadap orang yang tidak membayar pajak yang dibebankan kepada mereka, Namun menurutnya juga, sebelum menuju ke arah tersebut, pemerintah selayaknya melakukan sosialisasi yang intensif kepada warganya tentang zakat.

Dengan menganalisis beberapa faktor yang menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan zakat di atas, sedang potensi yang ada pada zakat sangat besar bagi kesejahteraan rakyat, maka keperluan untuk segera merevisi atau mengajukan suatu rancangan Undang-Undang tentang zakat yang lebih baik dan komprehensif menjadi sangat mendesak.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berangkat dari analisis permasalahan tentang zakat, maka dapat disimpulkan, bahwa:
Dengan segala potensi yang dimilikinya, pengelolaan zakat dirasa masih belum optimal karena tiga permasalahan mendasar:
Masalah Regulasi
Masalah Kelembagaan
Masalah Sosiologis


Masalah Regulasi, terkait beberapa ketentuan yang ada pada UU No.38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dimana pengaturan yang dilakukan atas zakat masih terlalu global dan di beberapa hal justru sangat parsial, tidak terintegrasi dengan baik.


Masalah Kelembagaan, sebagai konsekuensi dari UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dengan tidak adanya koordinasi terpusat dalam hal pengelolaan zakat baik pengumpulan zakat, penyaluran zakat, dan pemetaan data mustahiq juga muzakki, yang diurus oleh suatu lembaga khusus bentukan pemerintah.


Masalah sosiologis, terkait dengan masih minimnya partisipasi dari masyarakat terhadap zakat, yang disebabkan lemahnya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan zakat dari pengumpulan hingga penyaluran serta kurangnya transparansi dan profesionalitas dari LAZ terkait atas audit hasil pengelolaan zakatnya.

Maka untuk mengatasi berbagai kekurangan atas pengelolaan zakat yang saat ini ada, beberapa solusi yang dapat diambil sebagai langkah strategis, yakni:


Mengajukan suatu rancangan baru tentang zakat yang lebih detail dan jelas seta menyeluruh dari UU No.38 tentang pengelolaan zakat, terutama dalam hal; Organisasi Pengelolaan Zakat, Pengumpulan Zakat, Pengawasannya, dan Sanksi yang diterapkan.
Belajar dari pengalaman negara lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam seperti: Malaysia, Arab Saudi, Suriah, dan lain-lain, dimana pengelolaan zakat dilakukan oleh satu Badan Amil zakat saja dan memiliki perwakilan di beberapa wilayah daerah. Maka rekomendasi untuk Membentuk suatu lembaga khusus dan terpusat untuk mengelola zakat setingkat Kementrian atau paling tidak Direktorat Jenderal menjadi sangat penting, agar pengelolaan zakat dapat dilakukan secara lebih optimal dan terkoordinir, melalui pengubahan Keppres No.8 tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional terkait Kedudukan, Posisi, Peran, dan Fungsi Baznas.

POSITION PAPER


REFORMASI PERADILAN DI TUBUH
MAHKAMAH AGUNG


Oleh:
Muhamad Ilham & Andhy Martuaraja




Fakultas Hukum
Universitas Indonesia

PENDAHULUAN


Reformasi peradilan merupakan sebuah keniscayaan. Ia bukan lagi sebuah momentum, tetapi spirit yang terus menggelora di tengah kegalauan publik yang senantiasa mendambakan rasa keadilan. Reformasi peradilan menjadi bagian penting yang tidak bisa diabaikan dalam proses demokrasi dan gerakan sosial (social movement) yang lebih luas. Karena reformasi peradilan menghendaki lembaga peradilan idealnya dapat dimanfaatkan untuk menjamin perlindungan terhadap kebebasan sipil-politik serta perlindungan sosial-ekonomi rakyat[1].

Bisa jadi, meninggalkan reformasi peradilan mengakibatkan proses demokrasi berjalan tanpa arah, dan gerakan sosial tertatih-tatih. Sebaliknya, reformasi peradilan akan kehilangan moralitas dan legitimasinya jika mengabaikan issue dan kepentingan hak-hak masyarakat. Pada titik ini, reformasi perlu diupayakan agar mampu bersinergi dengan kekuatan/kelompok sosial-politik dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang pro-reformasi peradilan[2].

Sejauh ini reformasi peradilan memang telah menghasilkan berbagai perubahan, baik pada tataran kebijakan sampai pembentukan mekanisme dan institusi baru[3].

Independensi kekuasaan kehakiman sebagai sesuatu hal yang prinsipil di dalam negara hukum yang demokratis. Tanpa kehadiran kekuasaan kehakiman yang independen, maka tidak ada demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum (demokratische rechstaat). Independensi atau kebebasan tersebut dimaksudkan tidak adanya campur tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap pelaksanaan fungsi peradilan. Termasuk pula campur tangan dari unsur-unsur kekuasaan kehakiman itu sendiri serta kekuasaan ekonomi dan politik di luar sistem kekuasaan negara[4].

Independensi di sini sekaligus merupakan independensi personal setiap hakim untuk menjalankan tugasnya tanpa ketakutan dan keberpihakan. Sebab kelengkapan pertama dan utama untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang independen ada pada hakim. Kedua jenis independensi ini tidak sekedar menuntut jaminan-jaminan konstitusional formal, tetapi juga cara-cara penunjukkan atau pengangkatan hakim dan jaminan keberlangsungan mereka dalam melaksanakan jabatannya (Beetham & Boyle, 2000)[5].

Oleh karena itu, misi penting bagi reformasi peradilan tidak hanya sebatas menegakkan independensi dan imparsialitas peradilan sebagai suatu prinsip dalam negara hukum yang demokrasi. Tetapi penting juga bagaimana membangun dan menjaga sistem akuntabilitas dan mekanisme kontrol bagi para hakim agar peradilan tidak memunculkan abuse of power baru atau tyrani judicial. Setidaknya akuntabilitas dari segi politik, segi sosial/publik, segi hukum bagi hakim baik pejabat negara maupun secara personal (Mauro Cappaletti, 1989)[6].


BEBERAPA FOKUS PERUBAHAN

PEREKRUTAN

Mewujudkan Hakim yang Berintegritas, Bermartabat, dan Profesional

Hakim merupakan tonggak keadilan. Tanpanya mustahil diwujudkan hukum yang mampu mengayomi masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi peradilan maka diperlukan perbaikan yang menyeluruh dari perbaikan sistem rekrutmen hakim, pembinaan sampai pengawasan hakim.

Rekrutmen Hakim

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan memerlukan pembaruan yang menyeluruh. Salah satu faktor utama yang menopang pemberantasan praktik mafia peradilan ialah melalui rekrutmen hakim. Dengan menempatkan hakim-hakim yang memiliki integritas yang tinggi, berkomitmen, jujur, dan bermartabat maka wibawa institusi peradilan dapat kembali terangkat. Pada tahun 2000, diadakan rekrutmen hakim agung untuk mengisi kekosongan 20 kursi hakim agung. Rekrutmen tersebut ialah proses rekrutmen pertama setelah Orde Baru tumbang dan merupakan proses yang jauh lebih baik ketimbang sebelum Orde Baru. Pada masa rezim Orde Baru, peran sentral Presiden begitu kental dalam proses rekrutmen di MA.[7] Terlihat jelas kepentingan eksekutif dalam menyetir lembaga yudikatif. Oleh sebab itu, proses rekrutmen tidak dilakukan secara transparan dalam memilih SDM yang berkualitas dan berintegritas untuk duduk di MA.

Bagaimana seharusnya model rekrutmen hakim yang ideal bagi Indonesia. Di negara yang mengacu pada sistem common law, hakim direkrut secara terbuka.[8] Hakim dapat direkrut dari kalangan yang memiliki keahlian dibidang hukum baik akademisi, praktisi, atau kalangan hukum lainnya. Sebaliknya, sistem rekrutmen tertutup ada pada negara-negara yang menganut sitem civil law. Dalam sistem perekrutan ini tidak sembarang orang dapat direkrut menjadi hakim melainkan melalui proses rekrutmen yang telah ditentukan oleh lembaga yudisial.

Model
Kelebihan
Kekurangan
Terbuka
· Hakim dapat diseleksi dari kalangan yang luas;
· Hakim memiliki pemikiran yang independen dan progresif;
· Kepercayaan masyarakat cenderung tinggi.
· Hakim yang direkrut kurang berpengalaman dalam teknis peradilan;
· Sarat campur tangan politis
Tertutup
· Politisasi rekrutmen hakim dapat direduksi.

· Hakim yang direkrut kurang terbuka dan kreatif dalam menjawab permasalahan hukum yang baru;
· Hakim cenderung bekerja dalam lingkup birokratis.

Secara normatif di Indonesia masih menganut sistem rekrutmen tertutup. Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat hakim agung yang tidak didasarkan pada sistem karir. Seperti dimuat dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 5 tahun 2004. Jadi dapat disimpulkan bahwa Indonesia menggunakan sistem rekrutmen tertutup dengan membuka kemungkinan pelaksanaan sistem rekrutmen terbuka pula.[9]

Sejarah memperlihatkan, proses rekrutmen hakim agung di Indonesia kerap memperlihatkan kontroversi tentang bagaimana rekrutmen tersebut seharusnya dilaksanakan. Pada saat pembahasan RUU MA pada tahun 1985, terjadi perdebatan yang sengit antara Pemerintah dan MA versus DPR tentang penggunaan sistem rekrutmen terbuka dan tertutup. Akhirnya setelah terjadi kompromi politik, digunakanlah sistem tertutup dengan pengecualian hakim dari jalur non karir dalam kondisi tertentu.[10]

Dengan mengacu pada kelebihan metode terbuka dan tertutup pada negara-negara yang menganut sistem common law dan civil law. Dalam UU No. 5 Tahun 2004, pola perekrutan hakim di Indonesia sudah cukup baik dengan mengadopsi kedua sistem perekrutan hakim. Namun polemik metode perekrutan hakim hanya bermain dalam tataran elit saja. Maksudnya ialah metode campuran yang menggabungkan metode terbuka dan tertutup hanya ditujukan dalam mekanisme pemilihan hakim agung. Lalu bagaimana dengan mekanisme pengangkatan non hakim agung. Selama ini, rekrutmen non hakim agung untuk pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding memang dilakukan secara tertutup. Artinya, mereka yang akan menjadi hakim adalah mereka yang telah mendapatkan pembinaan dan pelatihan oleh MA.

Dalam prakteknya, pelaksanaan rekrutmen tertutup hakim diperuntukkan bagi mereka yang serendah-rendahnya berusia 25 tahun dan lulusan fakultas hukum.[11] Setelah itu mereka Calon Hakim (Cakim) harus mengikuti diklat selama 4-6 bulan. Hal ini menutup kemungkinan kalangan advokat atau akademisi yang berpengalaman untuk menjadi hakim tingkat pertama dan banding. Dalam hal ini, MA perlu memberikan kesempatan kepada kalangan lain yang kompeten dibidang hukum untuk dapat menjadi hakim. Terlebih lagi dengan memperhatikan keunggulan dari metode terbuka seperti ini.

Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan konsep campuran pada proses rekrutmen non hakim agung. Alasannya ialah dengan menganalogikan kepada kebutuhan hakim agung non karir. Ada kebutuhan mendesak dari masyarakat untuk mendapatkan hakim yang berkompeten dan memiliki integritas. Dan hal ini dapat secara cepat diperoleh dengan menggunakan metode campuran layaknya rekrutmen hakim agung. Mekanisme ini dilakukan sembari membenahi Diklat yang dimiliki MA dalam mencetak hakim karir.

Pembinaan Hakim

Dahulu, pembinaan hakim dilaksanakan oleh dua institusi. Di satu sisi, pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara itu, di lain sisi, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan HAM. Dengan dualisme pembinaan itu, sangat tidak mungkin untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Kini, dengan pengelolaan satu atap, Mahkamah Agung punya otoritas dan kesempatan memperbaiki segala kelemahan yang ada. Selain dari jalan rekrutmen, untuk menempatkan hakim-hakim yang profesional diperlukan pembinaan yang berkelanjutan. Hal ini mutlak dilakukan karena good judges are not born but made[12]. Saat ini MA telah memiliki Pusdiklat sejak tahun 1994. Namun dalam pelaksanaannya, fungsi pendidikan dan pelatihan yang selama ini dijalankan oleh MA masih memiliki kelemahan antara lain:[13]
a. Organisasi Badan Diklat kurang sesuai dengan kebutuhan;
b. Kurikulum Pendidikan dan pelatihan yang kurang tepat;
c. Metode pengajaran kurang edukatif;
d. Pengajar kurang berkualitas;
e. Sistem evaluasi yang tidak efektif dan belum dihubungkan dengan sistem karir; dan
f. Budget yang kurang memadai.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan yang komprehensif dalam Diklat MA. Diperlukan perbaikan Diklat secara bertahap antara lain dengan perbaikan kurikulum, pengajar, metode pengajaran, maupun SDM pengajar. Selain itu, perlu ada evaluasi secara berkala oleh MA terhadap lulusan Diklat yang nantinya akan ditempatkan sebagai hakim. Evaluasi berkala ini dilakukan untuk mengontrol kualitas hakim yang dihasilkan Diklat.

Selain dari diklat perlu ada regulasi internal MA yang menjaga perilaku hakim. Dalam hal ini, MA perlu diapresiasi dengan adanya SK KMA No. 104AKMA/SK/XII/2006 dan SK 215/KMA/SK/XII/2007.[14] Namun, realisasi dari dua SK ini juga perlu dikawal. Yang perlu untuk dihindari adalah jangan sampai semangat mewujudkan hakim yang berintegritas ini kuat dalam normatif tapi lemah diimplementasi. Pada tahun 2007, MA telah melakukan pelatihan Pedoman Perilaku Hakim yang telah diikuti oleh sekitar 3200 hakim. Namun perlu dicermati bahwa jumlah hakim di seluruh Indonesia berjumlah lebih dari 7000 hakim. Oleh karena itu, diperlukan program serupa untuk mencakup seluruh hakim dalam berbagai tingkatan diseluruh Indonesia.


MANAJEMEN PERKARA

Manajemen perkara merupakan tata kerja penyelesaian perkara. Di Mahkamah Agung (MA), manajemen perkara dimulai sejak perkara-perkara tersebut diterima oleh MA, ditelaah dan didaftar di direktorat perkara, didistribusikan ke tim dan Majelis Hakim Agung, diperiksa, dimusyawarahkan, diputus dan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim Agung, diarsipkan sampai dengan dikirimnya kembali berkas perkara tersebut kepada pengadilan pengaju (pengadilan tingkat pertama).

Mengenai manajemen perkara ini, permasalahan yang cukup mendapatkan sorotan masyarakat terhadap MA adalah masalah lamanya proses penyelesaian perkara, terutama perkara perdata[15]. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena banyaknya perkara-perkara yang menumpuk (backlog) di MA yang merupakan akumulasi dari sisa-sisa perkara yang belum diputus pada tahun-tahun sebelumnya. Besarnya angka tumpukan perkara tersebut menyebabkan perkara-perkara yang baru terpaksa ditangguhkan terlebih dahulu pemeriksaannya guna dapat menyelesaikan perkara-perkara yang sudah bertahun-tahun masuk ke MA. Menurut Yahya Harahap, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara dari tingkat pertama sampai kasasi adalah 7-12 tahun[16]. Dan waktu terlama ada pada proses pemeriksaan di MA. Lambatnya proses penyelesaian perkara ini menyebabkan asas “the speedy administration of justice” sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 14/1970 yaitu “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”, tidak berjalan secara efektif. Sekalipun permasalahan penumpukan perkara di pengadilan tertinggi ini tidak hanya terjadi di indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia, upaya-upaya untuk terus mengikis dan mengurangi hal tersebut harus terus dilakukan serta dikawal secara baik.

Mekanisme Pengurangan Perkara

Walaupun sering dikatakan bahwa penyebab dari adanya tumpukan perkara adalah hanya karena tidak adanya pengaturan yang membatasi perkara yang dapat dikasasi, akan tetapi berdasarkan penelitian Tim Cetak Biru Pembeharuan Mahkamah Agung yang diselesaikan pada tahun 2003 lalu, disimpulkan bahwa ketiadaan pengaturan tersebut hanyalah salah satu faktor saja[17].

Salah satu Faktor penentu yang menyebabkan penumpukan perkara ini terus terjadi yakni, terdapatnya kelemahan dalam manajemen perkara[18]. Beberapa contoh hal yang disoroti oleh Tim Cetak biru Pembaruan MA tahun 2003, seperti: Tidak adanya Sistem Klasifikasi perkara, Adanya Jalur perkara yang terlalu panjang, tidak adanya kontrol terhadap produktivitas Hakim Agung dan sebagainya. Namun pada dasarnya kesemua masalah itu tergabung dalam ruang lingkup Manajemen Perkara. Dimana Faktor Manajemen Perkara yang lemah ini pula yang juga turut berkontribusi pada urutan ke-3 teratas[19] dalam menyumbang terjadinya penumpukan perkara.

Saat ini saja dalam laporan terbarunya[20], Mahkamah Agung RI memperlihatkan data mengenai status perkara yang saat ini ada di MA yang belum diputus, yakni:
Sebanyak 67% (13.525) = Merupakan perkara yang masih aktif/berusia di bawah 2 tahun.
Sebanyak 33% (6.794) = Merupakan perkara yang sudah berusia di atas 2 tahun.
Melihat banyaknya perkara yang menumpuk di MA, tren yang terjadi pada tiga tahun terakhir terhitung dari tahun 2005, 2006, dan 2007[21], tidak kurang dari 9.000 perkara dari seluruh jenis selalu menjadi tanggungan hutang bagi MA untuk diselesaikan. Maka dari itu terhadap masalah penumpukan perkara ini harus dilakukan upaya yang serius serta terencana dengan target-target tertentu yang ditetapkan. Selain itu mengenai misi pengurangan perkara ini juga perlu dituangkan dalam bentuk peraturan formil oleh MA yang lebih mengikat, sehingga usaha yang dilakukan bukan hanya sekedar kebiasaan-kebiasaan saja yang secara rutin dipraktekan di antara para hakim. Sekali lagi agar upaya in dianggap serius oleh jajaran MA.

Selain kendala-kendala substansi seperti di atas, permasalahan penumpukan perkara di MA juga disebabkan oleh kendala-kendala teknis seperti salah satunya mengenai proses minutasi yang dilakukan oleh para staf dijajaran MA yang seringkali memakan waktu sangat lama[22], sebagai contoh: dalam laporan tahunan MA tahun 2007 dikatakan bahwa suatu putusan dapat diakses oleh publik paling lambat 1 minggu dari sejak diputus, berbeda jauh dengan MK (mahkamah konstitusi) yang hanya memakan waktu rata-rata 10 hingga 15 menit saja, sehingga masalah minutasi perkara yang terlalu lama ini juga ikut menumpuk banyaknya perkara di MA, hanya karena masalah sepele akhirnya berujung pada alur kerja di MA yang semakin lama, bahkan lebih jauh lagi berpengaruh juga pada minimnya ekspektasi masyarakat pada sebuah lembaga peradilan setingkat MA.

Rekomendasi
Sesuai dengan rekomendasi yang juga telah disampaikan oleh Tim Cetak Biru pembaruan MA, maka MA perlu membuat aturan yang tegas tentang mekanisme pemrioritaskan perkara yang setidaknya mengatur hal-hal berikut:

Pertama, sifat atau jenis perkara yang dapat diprioritaskan diatur secara limitatif dan jelas. Sebisa mungkin semua perkara yang akan diprioritaskan dapat dinilai secara obyektif[23]. Kedua, khusus untuk perkara yang penilaiannya harus ditafsirkan (subyektif), maka penentuannya dilakukan secara kolegial dalam Rapat Pimpinan (bukan hanya oleh Ketua/Wakil ketua MA).
Maka dengan rekomendasi ini, mendesak MA untuk segera mengeluarkan SK Ketua MA yang mengatur mengenai Pemrioritasan Perkara.

Belajar dari salah satu lembaga kekuasaan kehakiman lainnya yakni Mahkamah Konstitusi yang telah membuktikan bahwa suatu putusan itu dapat dikeluarkan dan diakses dalam waktu yang relatif cepat, maka MA perlu membuat sebuah Standarisasi Format Putusan pada setiap putusan yang dikeluarkan oleh para hakim di MA, hal ini ditujukan untuk meminimalisir hambatan teknis terhadap keluarnya suatu putusan serta mempercepat publikasi suatu putusan kepada para pihak maupun publik.

Bagi perkara-perkara yang telah menumpuk di MA, kualitas kecepatan rata-rata hakim untuk menyelesaikannya tidaklah cukup jika tidak diatur dalam instrumen yang jelas. Maka dari itu untuk mendorong para hakim untuk sesegera mungkin menyelesaikan suatu perkara, perlu dibuat suatu instrumen yang mengatur batasan waktu bagi para hakim untuk menyelesaikan perkara dari jenis apapun, pengaturan seperti ini pada dasarnya telah ada contohnya pada perkara Niaga dan Kasus Korupsi, hanya saja pada kenyataannya tidak semua jenis perkara memiliki pengaturan serupa terutama bagi perkara-perkara perdata yang biasanya memakan waktu yang sangat lama.
Maka dengan rekomendasi ini, mendesak MA untuk segera mengeluarkan SK Ketua MA yang mengatur batasan waktu bagi hakim untuk menyelesaikan perkara dari tiap jenisnya masing-masing.

Pembatasan Perkara yang Masuk ke Pengadilan

Usaha-usaha yang dilakukan untuk terus mengurangi jumlah tunggakan penumpukan perkara di MA tidak akan berjalan efektif dan mendapatkan hasil jika penanganannya hanya terkonsentrasi pada perkara-perkara yang sudah masuk saja, perhatian penanganan masalah ini juga harus melihat keluar dalam arti melihat juga pada perkara-perkara yang belum masuk atau akan masuk. Bagaimanapun hebatnya metode yang dijalankan oleh MA dalam menyelesaikan perkara yang ada, tetap tidak akan berpengaruh signifikan jika jumlah perkara yang masuk terus-menerus besar kuantitasnya.

Jika melihat pada salah satu metode yang telah dan masih dijalankan MA dalam mengurangi perkara saat ini, yakni Re-distribusi perkara kepada para hakim agung[24], maka secara singkat dapat dilihat bahwa penanganan penumpukan perkara di MA belum melihat kedepan. Namun sebetulnya pada Laporan tahunan MA tahun 2006 sempat ditulis di dalamnya suatu keterangan yang memuat bahwa perlu dipertimbangkan untuk membuat sebuah mekanisme yang menjadikan tidak semua perkara bermuara di MA[25]. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya telah ada kesadaran bagi MA untuk melihat betapa urgennya dibuat suatu mekanisme dalam Pembatasan Perkara yang dapat masuk ke tingkat Kasasi atau PK[26].

Pembatasan perkara yang masuk ke MA memerlukan kerangka yang jelas serta regulasi atau ketentuan yang mengikat dari MA sendiri. Pada dasarnya ada 2 (dua) model pembatasan yang dapat digunakan, yaitu pembatasan secara kualitatif dan kuantitatif. Pembatasan secara kuantitatif maksudnya, penentuan suatu perkara bisa dikasasi atau tidak dapat diukur kuantitasnya, misalnya berdasarkan nilai perkara (untuk perkara perdata dan agama)[27], berat ringannya ancaman hukuman (untuk kasus pidana)[28] atau jenis perkara tertentu (baik pidana, perdata, dan agama)[29]. Asumsinya biasanya karena perkara-perkara demikian bukanlah perkara yang sulit. Kelemahan pembatasan model ini adalah karena nilai antara satu perkara dengan perkara lain bisa jadi sangat berbeda[30].

Pembatasan secara kualitatif maksudnya, penentuan suatu perkara untuk dapat dikasasi atau tidak tergantung pada ‘kualitas’ perkaranya. Misalnya, perkara hanya bisa dikasasi jika perkara tersebut memiliki dampak luas terhadap para pihak atau masyarakat, memiliki dimensi konsititusional dan sebagainya. Kelemahan utama pembatasan model ini adalah penentuan apa perkara yang dianggap layak (karena ‘berkualitas’) bisa jadi sangat subyektif dan berpotensi disalahgunakan.

Rekomendasi
Oleh karena beberapa permasalahan penumpukan perkara yang ada, maka merupakan sebuah hal sangat penting bagi MA untuk segera menerapkan standar pembatasan bagi perkara yang masuk pada tingkat Kasasi maupun PK, sesuai dengan Rekomendasi yang diberikan oleh Tim Cetak Biru Pembaruan MA pada tahun 2003, maka beberapa alternatif pengaturannya adalah sebagai berikut:
Alternatif 1: Pembatasan perkara kasasi ke MA yang perlu diatur hanyalah pembatasan bagi perkara yang pengajuannya tidak memenuhi syarat formal kasasi sebagaimana telah diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2001. Karena itu, materi PERMA tersebut perlu dikuatkan dengan UU[31].

Alternatif 2: Perlu dibuat aturan mengenai pembatasan perkara yang dapat dikasasi dengan model pendekatan kuantitatif dimana pengaturan pembatasan perkara tersebut standarnya dibuat serendah mungkin.

Alternatif 3: Perlu dibuat aturan mengenai pembatasan perkara yang dapat dikasasi dengan model pendekatan kuantitatif.

Dengan beberapa pengaturan tentang pembatasan perkara yang masuk ke MA diharapkan dapat menjadi solusi ke depan bagi penumpukan perkara di MA[32], namun catatan utama yang juga menjadi sangat penting bagi pemberlakuan mekanisme ini secara formil adalah kondisi pada pengadilan pertama dan banding, dimana perbaikan terhadap kualitas putusan pun juga mutlak untuk dilakukan pada kedua tingkat pengadilan tersebut, jangan sampai menambah ketidakpuasan masyarakat dalam mencari keadilan.


TRANSPARANSI

Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa memang prinsip independensi peradilan adalah salah satu prinsip penting untuk melahirkan proses peradilan yang fair. Namun permasalahannya, prinsip ini sepertinya dianggap lebih penting dibandingkan prinsip pengadilan yang terbuka (yang prinsip yang mendorong lahirnya akuntabilitas pengadilan). Padahal kita menyadari betul bahwa independensi tanpa akuntabilitas dapat kita umpamakan sebagai “cek kosong yang bisa diisi apa saja”. Jangan sampai dengan alasan independensi, hakim menganggap ia dapat melakukan apa saja tanpa perlu mempertanggunggjawabkannya kepada publik dan pada akhirnya menjalankan proses peradilan yang sesat[33].

Fungsi utama lembaga peradilan dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar: fungsi Yudisial dan Fungsi non Yudisial[34]. Untuk fungsi yang kedua, bentuk akuntabilitas pengadilan sama dengan bentuk yang biasa dikenal di lembaga eksekutif dan legislatif. Namun untuk fungsi yang pertama, fungsi yudisial, ceritanya sedikit berbeda, terutama jika dihubungkan dengan akuntabilitas individu hakim[35].

Manfaat utama dari pengedepanan prinsip pengadilan yang terbuka yang bisa kita sarikan dari penjelasan di atas adalah bahwa hal tersebut akan menegakkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan pelaksanaan keadilan (administration of justice). Dan kepercayaan tersebut merupakan modal utama untuk mengukuhkan kewibawaan, otoritas, dan efektivitas peran lembaga peradilan yang pada gilirannya akan berdampak pada tegaknya prinsip negara berdasarkan hukum[36].

Bicara mengenai Transparansi pada dunia peradilan khususnya di lingkungan Mahkamah Agung serta peradilan umum lainnya, maka pada akhir agustus terbitlah sebuah regulasi yang dikeluarkan MA yang khusus mengatur Keterbukaan Informasi kepada publik di Pengadilan, regulasi tersebut yakni: SK KMA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007. Lahirnya SK 144 ini mengawali babak baru dalam pengelolaan badan peradilan yang lebih profesional, dimana pada masa-masa sebelumnya hal semacam ini sangat langka untuk ditemukan oleh publik. Jangankan mengakses perkembangan suatu perkara, untuk mengetahui dan mendapatkan duplikat putusan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap saja sudah sangat sulit.

Sekilas memang Regulasi tersebut seolah-olah memberikan angin segar bagi publik untuk dapat lebih terlibat dalam proses-proses yang terjadi di pengadilan, namun dalam perjalanannya jika melihat pada kenyataan yang terjadi di lapangan masih banyak pula kendala-kendala yang dihadapi oleh regulasi baru ini. Secara formil memang diatur oleh SK 144 bahwa publik telah dapat mengakses berbagai informasi yang ada di pengadilan dari mulai jadwal sidang hingga publikasi putusan, namun prakteknya publik masih saja disulitkan dengan prosedur yang berbelit-belit dan biaya yang mahal untuk memperoleh sesuatu yang dibutuhkan dari pengadilan. Sehingga SK 144 hanya menjadi Law in the Book bukan Law in Action.

Bagaimanapun juga kekurangan tersebut tidak layak dijadikan suatu dasar untuk terus memojokkan MA, bahkan sebaliknya Apresiasi yang besar patut diberikan kepada MA karena telah memulai suatu paradigma baru tentang institusi negara yang transparan jauh sebelum undang-undang resmi mengaturnya[37]. Namun, usaha-usaha untuk mendorong agar sesegera mungkin keefektifan SK 144 ini harus terus digalakan.

Rekomendasi
Kesiapan infrastrukur dan fasilitas merupakan hal yang mutlak untuk diprioritaskan, sebab keefktifan dari SK 144 ini menuntut teknologi yang jauh berbeda dengan yang ada sebelumnya. Kesiapan ini tentu saja tidak boleh hanya berhenti dan terpusat pada MA tetapi juga pada badan-badan peradilan dibawahnya baik Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri.
Selain itu ketersediaan SDM yang akan menangani SK 144 ini juga patut menjadi perhatian, sebab tanpa adanya SDM yang cukup betapapun hebat fasilitas yang dimiliki tetap tidak akan berguna, jika tidak bisa mengoperasionalkan kelengkapannya.


PENGAWASAN

Pengawasan terhadap hakim merupakan tugas yang sangat penting. Dibeberapa negara maju, tugas ini kadang tidak dianggap penting karena praktek dipengadilan mereka sudah baik sehingga yang menjadi hakim sebagian besar adalah mereka yang memiliki integritas yang baik. Namun permasalahan di Indonesia jauh lebih kompleks. Permasalahan integritas dikalangan hakim sudah menjadi masalah yang begitu luas. Oleh karena itu pendekatan pengawasan mutlak dilakukan. [38]

Pengawasan hakim dapat dibagi menjadi pengawasan internal maupun eksternal. Pengawasan internal dapat dibagi kembali menjadi pengawasan melekat dan fungsional. Pengawasan melekat dilakukan oleh MA kepada lembaga peradilan dibawahnya secara struktural. Sedangkan pengawasan fungsional merupakan setiap upaya pengawasan yang dilaksanakan oleh aparat yang ditunjuk khusus (exclusively assigned). Kewenangan MA dalam melaksanakan pengawasan dapat didelegasikan kepada pengadilan tinggi. Dengan pendelegasian ini, maka pengadilan tinggi disebut sebagai voorpost Mahkamah Agung.[39]
Sedangkan pengawasan eksternal, idealnya dilakukan oleh Komisi Yudisial. Permasalahannya, ialah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan semua kewenangan yang berkaitan dengan pengawasan Komisi Yudisial (KY) terhadap hakim. Padahal, menurut pasal 24B UUD 1945 KY berfungsi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Sudah selayaknya posisi KY sebagai pengawas eksternal lembaga yudisial diperhatikan.

Setelah adanya komitmen politik untuk memberlakukan penyatuan atap dibidang adminstrasi, keuangan, dan organisasi pengadilan, muncul kekhawatiran akan lahirnya monopoli kekuasaan di MA. Memang kekhawatiran itu seharusnya tidak muncul ditengah semangat pembaruan peradilan MA yang terpatri dalam Cetak Biru Pembaruan MA. Namun perlu juga dikritisi bahwasanya posisi Komisi Yudisial juga dicanangkan dalam Cetak Biru MA sebagai pengawas eksternal. Oleh karena itu, tidaklah patut ketika kewenangan pengawasan hakim oleh KY dipangkas begitu saja. Implikasi yang terjadi ialah telah terjadi sebuah pengkhianatan atas Cetak Biru MA yang telah disusun sendiri oleh MA. Selain itu, semangat pembaruan peradilan ditubuh MA juga perlu mendapatkan sorotan lebih. Akan ada anggapan-anggapan miring terhadap MA yang bisa dinilai sebagai lembaga yang anti reformasi peradilan.

Dinegara-negara Eropa, Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang cukup luas. Untuk negara-negara eropa utara, KY diatur dalam konstitusi dan memiliki kewenangan sampai menjatuhkan sanksi indisipliner terhadap hakim. Bahkan dinegara-negara eropa selatan, kewenangan KY juga mencakup pengawasan administrasi peradilan, tumpukan perkara, arus perkara, unifikasi hukum, konsistensi kualitas proses pengadilan, dan sebagainya.[40] Melihat dari bentuk dan kewenangannya, eksistensi KY di Indonesia mengadopsi KY yang berada dinegara-negara eropa utara. Namun permasalahannya, kewenangan KY di Indonesia sudah dipangkas sedemikian rupa sehingga hanya berwenang dalam bidang-bidang tertentu saja. Memang, keberadaan sebuah lembaga negara tidak perlu menjiplak dari negara lain, tetapi yang perlu dipertimbangkan disini ialah kebutuhan dari keberadaannya. KY diperlukan sebagai sebuah organisasi pengawas dan pendisiplin terhadap hakim.[41] Oleh karena itu sangat tepat jika dalam revisi UU KY mendatang posisi KY kembali ditetapkan sesuai dengan amanat UUD 1945.

PENUTUP

Sebagai penutup, dalam suatu negara hukum yang demokratis mutlak diwujudkan suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka, berwibawa, bersih, jujur, dan tidak memihak/berpihak. Namun perwujudan cita-cita luhur itu tidak semudah membalik telapak tangan. Masyarakatlah yang secara langsung maupun tidak mengalami ketidakadilan dalam proses peradilan tersebut. Dalam mengupayakan pulih kembalinya citra dan wibawa pengadilan, keterlibatan publik melalui proses eksaminasi[42] dapat menjadi langkah penting dan strategis guna menilai suatu putusan pengadilan yang kontroversial pada khususnya, serta kontrol jalannya sebuah kekuasaan kehakiman pada umumnya[43]. Position Paper ini secara lebih jauh juga dapat diartikan sebagai bentuk Eksaminasi dan kontrol dari mahasiswa terhadap kinerja badan peradilan khususnya MA, guna mewujudkan badan peradilan di Indonesia yang lebih baik lagi.


Referensi:
Firmansyah Arifin, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan; Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Peradilan Mendayung Diantara Simpati dan Resistensi, (2007).
Sebastian Pompe, The Indonesia Supreme Court; Fifty Years of Judicial Development, (Disertasi yang tidak dipublikasikan, 1996).
Sebastian Pompe, The Indonesia Supreme Court; Fifty Years of Judicial Development, (Disertasi yang tidak dipublikasikan, 1996).
Lihat John Herry Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal System of Western Europe an Latin America, Second Edition (Stanford University Press, 1996).
Mahkamah Agung RI (a), Cetak Biru Pembaruan Mahakamah Agung RI, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003).
Indonesia Corruption Watch, Jangan Pilih Calon Hakim (Agung) Busuk; Panduan Tracking Calon Hakim Agung, (Jakarta: ICW, 2007).
LeIP, Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, (Jakarta: Mahkamah Agung), 2003.
Odette Buitendam, Good Judges Are Not Born But Made: Recruitment, Selection, and The Training of Judges in The Netherlands dalam The Challenge of Change For Judicial Systems, Edited by Marco Fabri and Philip M. Langbroek (Netherlands: IOS Press, 2000).
LeIP , Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pendidikan Hakim, 2003.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa.
11. Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2005.
12. Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2006.
13. Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2008.
Rifqi S. Assegaf & Josi Khatarina, Membuka Ketertutupan Pengadilan, (Jakarta: Lembaga Kajian & Advokasi Untuk Indepensi Peradilan [LeIP]), 2005.
Mahkamah Agung RI (c), Naskah Akademis dan Rancangan UU tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003).
Lihat DR. Wim Voremans, Komisi Yudisial di Berbagai Negara Uni Eropa, (Jakarta: LeIP, 2002).
Wasingatuh Zakiyah, dkk, Panduan Eksaminasi Publik, (Jakarta: Indonesian Corruption Watch), 2003.
SK KMA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Pengadilan.










[1]Firmansyah Arifin, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan; Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Peradilan Mendayung Diantara Simpati dan Resistensi, (2007), Hal 43.
[2]Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid, Hal 45
[5] Ibid.
[6] Ibid, Hal 46
[7] Sebastian Pompe, The Indonesia Supreme Court; Fifty Years of Judicial Development, (Disertasi yang tidak dipublikasikan, 1996), hal 308-309
[8] Lihat John Herry Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal System of Western Europe an Latin America, Second Edition (Stanford University Press, 1996), hal 35

[9] Mahkamah Agung RI (a), Cetak Biru Pembaruan Mahakamah Agung RI, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003) hal. 59
[10] Indonesia Corruption Watch, Jangan Pilih Calon Hakim (Agung) Busuk; Panduan Tracking Calon Hakim Agung, (Jakarta: ICW, 2007) , hal 1
[11] Lihat Mahkamah Agung RI (b), Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2003) hal 98-100
[12] Odette Buitendam, Good Judges Are Not Born But Made: Recruitment, Selection, and The Training of Judges in The Netherlands dalam The Challenge of Change For Judicial Systems, Edited by Marco Fabri and Philip M. Langbroek (Netherlands: IOS Press, 2000), hal 21
[13] Penjelasan lebih lanjut mengenai Badan Diklat dapat dilihat dalam studi yang dilakukan MA dengan dukungan LeIP yaitu, Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pendidikan Hakim, 2003.
[14] SK KMA No. 104AKMA/SK/XII/2006 memuat sepuluh prinsip yang ditetapkan sebagai pedoman bagi hakim, yaitu adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjungtinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan profesional. Sedangkan SK 215/KMA/SK/XII/2007 mengenai pelaksanaan dan penegakan perilaku hakim (PPH).
[15] Hampir seluruh Pengajar (Dosen) Hukum Acara Perdata di Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan hal demikian.
[16] M. Yahya Harahap, Bebebrapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, hal. 154.
[17] Hal ini secara implisit juga dapat terlihat dalam SEMA No. KMA/500/SE/VII?2001 tentang Penyelesaian Perkara. Dalam SEMA tersebut Ketua MA secara eksplisit memerintahkan kepada para hakim Agung untuk lebih meningkatkan upaya menyelesaikan pemeriksaan dan memutus permohonan yang sudah ada pada masing-masing Majelis.
[18] Berdasarkan penelitian Tim Cetak Biru Pembaruan MA, secara kuantitatif 65% Hakim Agung menganggap bahwa salah satu penyebab tumpukan perkara adalah karena lemahnya manajemen perkara di MA.
[19] Tabel VIII.14, Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Tumpukan Perkara, Tim Cetak Biru Pembaruan MA.
[20] Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2007, April 2008.
[21] Hasil pengamatan terhadap Laporan Mahkamah Agung pada tahun 2005, 2006, dan 2007.
[22] Berdasarkan pendapat dari salah satu Peneliti LeIP (Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan), Purnomo Satriyo Pringgodigdo, S.H.
[23] Misalnya pemrioritaskan perkara dengan alasan umur tua harus didefinisikan secara tegas, contohnya di atas 70 tahun.
[24] Diperoleh dari laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2007, April 2008.
[25]Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Ringkasan Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, tahun 2006.
[26] Mengenai pembatasan perkara ini presedennya dapat kita temukan pada negara-negara bersistem hukum Anglo Saxon, khususnya Amerika Serikat yang menerapkan Leave System pada badan peradilan tertingginya, dimana tidak semua perkara dapat masuk dan diproses pada badan peradilan tertinggi tersebut, perkara yang dapat diproses hanyalah perkara-perkara yang bernilai ekonomis tinggi (menyangkut jumlah uang yang banyak) dan perkara-perkara yang memiliki dampak sosiologis yang besar pada masyarakat.
[27]Misalnya putusan perkara perdata dengan nilai perkara rill di bawah Rp 100.000.000 tidak boleh dikasasi, cukup sampai di pengadilan tingkat banding.
[28] Misalnya kalau perbuatan yang didakwakan diancam dengan pidana dibawah tiga tahun atau jika terpidananya dihukum dibawah tiga tahun maka terpidana tersebut tidak boleh kasasi.
[29] Misalnya semua putusan perkara perceraian yang tidak digabungkan dengan sengketa harta bawaan tidak boleh dikasasi, atau putusan perkara lalu lintas tidak boleh dimintakan kasasi.
[30] Untuk pihak yang miskin uang Rp 10.000 sangat besar. Namun bagi pihak yang kaya nilai Rp 10.000 tidak besar. Jenis perkara TIPIRING (Tindak Pidana Ringan) bisa jadi memiliki nilai konstitusional yang besar, misalnya hak untuk berunjuk rasa.
[31] Dasar pemikirannya, karena mayoritas perkara yang masuk ke MA adalah perkara yang ‘tidak sulit’. Dari jumlah rata-rata perkara pertahun yang masuk ke MA, mayoritas adalah perkara yang kemudian ditolak oleh MA, dan perkara yang ditolak biasanya lebih cepat proses memeriksa dan memutusnya.
[32] Berdasarkan hasil penelitian Tim Cetak Biru Pembaruan MA, dengan adanya pembatasan perkara yang tidak memenuhi syarat formal ke MA saja maka sudah mengurangi jumlah perkara sebesar rata-rata 18% pertahun.
[33] Rifqi S. Assegaf & Josi Khatarina, Membuka Ketertutupan Pengadilan, (Jakarta: Lembaga Kajian & Advokasi Untuk Indepensi Peradilan [LeIP]), 2005, hal 26.
[34] Misalnya mengelola organisasi, administrasi, personel, dan keuangan pengadilan.
[35] Rifqi, Op.Cit, hal 26.
[36] Ibid, hal 29.
[37] SK 144 MA lebih dulu lahir, sebelum usulan keterbukaan Informasi publik dalam UU KIP disahkan.
[38] Mahkamah Agung RI (c), Naskah Akademis dan Rancangan UU tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal. 47
[39] Lihat Mahkamah Agung RI (d), Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2007, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008), hlm 45-48

[40] Lihat DR. Wim Voremans, Komisi Yudisial di Berbagai Negara Uni Eropa, (Jakarta: LeIP, 2002), hlm 11
[41] Mahkamah Agung RI (c), op. cit, hal 134
[42]Istilah eksaminasi berasal dari bahasa inggris examination yang berarti ujian atau pemeriksaan. Apabila dihubungkan dengan konteks eksaminasi terhadap produk peradilan (dakwaan, putusan, surat, perintah, dan lain sebagainya) maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk tersebut.
[43] Wasingatuh Zakiyah, dkk, Panduan Eksaminasi Publik, (Jakarta: Indonesian Corruption Watch), 2003, Hal 13.