Kamis, 20 November 2008

Prolegnas Masihkah Pantas?...


Oleh: Muhamad Ilham – FHUI 05

Begitu dahsyatnya kekuatan teks undang-undang, sehingga pembentukannya pun merupakan arena tanding kekuatan politik yang selalu menarik untuk dipantau dan dikaji. Dalam konteks ini, menarik untuk dilihat, tiga ciri hukum yang penting menurut Al. Andang L. Binawan
[1]. Pertama, ciri relasional, yaitu peran hukum dalam menghubungkan dan menyatukan masyarakat. Kedua, ciri kompromis, Kompromi dalam hukum disebabkan karena keragaman pemahaman masyarakat tentang banyak hal, khususnya keadilan. Ketiga¸terkait erat dengan ciri yang kedua, hukum juga berciri minimal. Minimal yang dimaksud disini adalah minimal dalam kandungan konsep ‘Keadilan’ karena adanya banyak kompromi dalam hukum.
Proses di dalam legislasi juga pada dasarnya tidak pernah lepas dari ciri hukum tadi, sebuah hal yang mungkin seringkali luput dari pantauan publik tetapi memiliki signifikansi besar dalam pengaturan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Mulai dari Perencanaan legislasi hingga pada implementasinya.

Kualitas Vs Kuantitas
Kuatnya ‘pertarungan gagasan’ dalam pembentukan hukum juga dikuatkan oleh Colin Summer, yang bahkan menyajikan metodologi pengecekan ideologi dalam pembentukan hukum. Dikatakannya, soal-soal penting mengenai asal mula hukum selalu berkaitan dengan:
Kelompok kekuasaan di balik suatu legislasi,
Masalah-masalah yang ingin dipecahkan oleh kelompok tersebut
Ideologi dimana masalah ini dipahami
Pandangan Oposisi terhadap legislasi tersebut.
Dari sini terlihat bahwa hukum adalah fenomena ciptaan dari politik dan ideologi, sehingga hukum pun disebut sebagai “site of struggle” atau wilayah perjuangan (gagasan), berangkat dari cara pandang inilah, sungguh penting untuk memeriksa kualitas dari sebuah legislasi
[2].
Gagasan ‘kualitas’ ingin dihadapkan pada ‘kuantitas’. Perhadapan ini dubutuhkan untuk mendobrak suatu hal yang sudah menjadi tren. Banyak pihak yang sudah terjebak pada persoalan kuantitas undang-undang yang dihasilkan. DPR dan Pemerintah dilihat sebagai ‘pabrik undang-undang.’, sebuah stigma yang sangat sulit untuk dilepaskan bahkan di antara para pelakunya sendiri. Undang-undang pun dilihat sebagai teks belaka. Padahal kuantitas undang-undang mestinya dilihat sebagai alat untuk menyoroti kinerja yang didasari oleh cara pandang ‘produksi’, membuat perbaikan kinerja lebih banyak diarahkan pada soal-soal teknis prosedural. Maka, anggaran pun ditunjuk menjadi salah satu biang keroknya. Bahkan, dalam diskusi mengenai perbaikan kinerja, sebagai jawaban atas banyaknya atas banyaknya rapat yang berhimpitan menyebabkan munculnya keinginan untuk membatasi berapa jumlah RUU yang dibahas oleh setiap fraksinya
[3].
Perbaikan dalam hal proses legislasi tentu saja diperlukan. Apalagi, amandemen UUD yang berimplikasi pada perubahan struktur ketatatnegaraan masih banyak memerlukan aksi tindak lanjut. Perubahan wewenang legislasi dari pemerintah ke DPR misalnya, masih menimbulkan kegamangan di tingkat teknis. Sehingga pembentukan Baleg DPR dan peningkatan anggaran legislasi di DPR dianggap sebagai obat mujarab yang akan menyembuhkan segala penyakit. Meski kenyataannya tidaklah demikian
[4].

Biaya
Menurut Baldwin dan Cave (1999), kebijakan publik atau perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai good policy bila terdapat prasyarat dimana salah satunya, akuntabel dan dapat dikontrol oleh publik sejak dari pembahasan di dewan sampai kebijakan tersebut diimplementasikan
[5]. Termasuk dalam hal ini sebuah proses legislasi yang pada dasarnya telah memakan ‘ongkos’ yang tidak sedikit.
Sebagai contoh jika kita mencermati Nota Keuangan dan RAPBN 2006, anggaran yang dialokasikan negara tidaklah sedikit. Mahkamah Agung mempunyai anggaran sebesar Rp 15, 8 milyar lebih. Sedangkan pihak eksekutif dianggarkan sebanyak Rp 106,5 milyar lebih. Untuk DPR tidak secara jelas dicantumkan alokasi kebutuhan perundangan seperti pada MA dan Pemerintah. Sedangkan DPR sendiri kurang lebih Rp 760,9 milyar. Jumlah yang tidak sedikit mengingat sumbernya berasal juga dari uang rakyat.
Terlalu banyak memang masalah yang akan ditemui jika fokus pembahasan terus diarahkan pada keseluruhan proses legislasi, namun kali ini yang benar-benar akan dijadikan objek adalah pada proses perencanaannya, yakni suatu proses paling awal yang disebutkan dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, suatu mekanisme yang dianggap sebagai bentuk perwujudan ‘perencanaan’ tadi, suatu mekanisme yang biasa dikenal dengan sebutan Prolegnas atau Program Legislasi Nasional.

Latar Belakang Prolegnas
Pada awal periode pemerintahan dan masa bakti anggota DPR, biasanya dilakukan proses perencanaan. Dalam proses ini, kedua lembaga bertemu untuk merumuskan rencana legislasi selama lima tahun ke depan, yang dikenal dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Keduanya akan merumuskan kegiatan apa saja yang akan dilakukan lima tahun ke depan dalam proses legislasi
[6]. Prolegnas adalah suatu perencanaan mengenai pembentukan undang-undang. Hal ini jelas dari kerangka pengaturan UU No. 10 tahun 2004 yang menempatkan Prolegnas sebagai keluaran (output) dalam tahap perencanaan. Seperti diketahui, UU No. 10 tahun 2004 meletakkan enam tahap dalam pembentukan undang-undang, yaitu perencanaan, penyiapan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Pembentukan undang-undang membutuhkan tahap perencanaan karena ia diletakkan dalam konteks kebijakan (Policy) publik yang tertulis
[7]. Perencanaan mesti dilakukan karena kebijakan publik akan selalu mengalami keterbatasan, baik dalam soal sumber daya manusia dan dana, maupun waktu. Keterbatasan-keterbatasan ini membutuhkan adanya pengelolaan isu. Isu-isu harus dipilah dan dipilih dalam suatu urutan prioritas dan rencana implementasinya yang menyeluruh. Perhitungan pembuat kebijakan mengenai keterbatasan akan selalu mempengaruhi perencanaan.
Yang perlu dicatat pada titik ini, persoalan pengelolaan isu menjadi masalah ketika sistem juga dilihat sebagai keterbatasan. Prolegnas, pada awalnya terkait dengan sistem penganggaran pemerintah. Sebab prolegnas ketika itu dibuat untuk memudahkan Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Anggaran, dalam membuat perencanaan dana yang dibutuhkan untuk proses penyusunan undang-undang
[8].
Sebelum adanya Prolegnas tiap departemen teknis cukup menyebutkan berapa jumlah undang-undang yang akan dibuat dalam tiap tahun anggaran tanpa harus menyebutkan undang-undang apa yang akan dibuat. Tapi kemudian timbul kesulitan dalam hal pertanggungjawaban. Maka kemudian gagasan mengenai Prolegnas ini muncul, agar aspek anggaran juga bisa dihitung dengan lebih matang dalam perencanaan pembangunan.
Secara sistem, sebelum adanya UU No. 10 tahun 2004, Prolegnas dikonstruksikan untuk menerjemahkan Program Pembangunan Nasional (Propenas) ke dalam indikator kinerja pembangunan di bidang hukum. Dasarnya adalah Ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004. Dalam GBHN disebutkan mengenai arah kebijakan bidang hukum butir kedua:

“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui perundangan-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuainnya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”

Kemudian di dalam GBHN yang sama pada bagian kaidah Pelaksanaan disebutkan bahwa pelaksanaan GBHN dituangkan dalam Propenas
[9].

Target Prolegnas yang tidak pernah tercapai
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), pada awal 2006, DPR dan Pemerintah memprioritaskan 76 RUU untuk diselesaikan selama satu tahun. Dari 76 RUU tersebut, 33 di antaranya merupakan limpahan 2005. Sedangkan yang berhasil dihasilkan pada tahun 2005 sendiri dari 55 RUU hanya 14 yang selesai.
Beberapa rincian yang berhasil didapat pada tahun 2006, terhadap hasil dari pencapaian Prolegnas, antara lain:
16 Undang-Undang à tentang Pemekaran Wilayah
7 Undang-Undang à Pengesahan konvensi internasional & perjanjian bilateral
1 Undang-Undang à penetapan PERPU
4 Undang-Undang à berkaitan dengan APBN
11 Undang-Undang à tentang hal-hal lainnya.

Total à 39 Undang-Undang dari 76 pada rencana sebelumnya

Dari ulasan ringkas di atas dan dibandingkan dengan jumlah yang dicapai DPR pada tahun sebelumnya, muncul beberapa pertanyaan. Apakah sebenarnya ukuran untuk menentukan prioritas undang-undang? Sebab dari kenyataan yang ada apa yang dijadikan prioritas tidak benar-benar diprioritaskan. Kalau begitu kenyataannya, untuk apa sesungguhnya prolegnas? Kemudian, bagaimana prioritas ini berpengaruh dan dipengaruhi oleh sistem anggaran? Bila daftar prioritas memuat 76 undang-undang sebagaimana halnya tahun lalu, apa yang terjadi dengan sisa dana yang tidak terpakai karena undang-undang yang selesai dibahas tidak sampai sejumlah itu?, sekalipun sebetulnya telah ada Peraturan Presiden No. 8 tahun 2005 tentang Tata Cara mempersiapkan RUU, R PERPU, R PP, & R PERPRES, dalam pasal 3 nya yang mengatur beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi sebuah rancangan undang-undang untuk bisa masuk ke dalam daftar Prolegnas
[10], namun tetap saja sepertinya perangkat tersebut tidak cukup ampuh untuk menghilangkan stigma terhadap kerancuan penyusunan sebuah prolegnas.
Di sisi lainnya, Prolegnas sudah kadung dijadikan suatu harapan politik publik. Dalam proses perumusan Prolegnas, berbagai organisasi mengadvokasikan masukan RUU tertentu dalam Prolegnas. Ukuran-ukuran kinerja DPR pun dihitung salah satunya dari capaian jumlah RUU yang dihasilkan, dibandingkan dengan target UU yang disahkan
[11].
Dalam praktik, diletakkannya Prolegnas ke dalam UU No.10/2004 ternyata tidak menghilangkan sifat fleksibel dari Prolegnas itu sendiri. Pasal 17 ayat (3) UU ini membuka kesempatan bagi masuknya rancangan undang-undang di luar Prolegnas untuk dimasukkan ke dalam daftar prioritas. Syarat yang dibutuhkan adalah “kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional”. Syarat ini kemudian diurai menjadi empat kriteria yaitu:

i) Rancangan undang-undang yang bersangkutan berhubungan dengan Treaty, Convention, atau perjanjian-perjanjian internasional lainnya,
ii) Adanya kebutuhan mendesak terhadap keberadaan rancangan undang-undang tersebut (salah satu contoh yang diberikan adalah RUU Pemerintahan Aceh),
iii) Rancangan undang-undang yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) menjadi Undang-undang.
iv) Rancangan undang-undang yang merupakan revisi atau pengganti undang-undang yang sebagian atau seluruh isinya dinyatakan tidak mengikat lagi oleh Mahkamah Konstitusi.

Penjabaran di atas sekali lagi membuktikan kegagalan Prolegnas memenuhi targetnya. Bila dibandingkan antara perencanaan yang dibuat dalam Prolegnas dan realisasi setiap tahunnya, maka akan terlihat jelas bahwa Prolegnas sesungguhnya tidak pernah tercapai. Bahkan lebih sering prioritas pembahasan didasarkan pada kebutuhan undang-undang yang saat itu mendesak.

Mempertanyakan Prolegnas
Seperti yang telah diketahui bahwa sebelum adanya UU 10/2004, Prolegnas diletakkan sebagai bagian dari perencanaan kebijakan publik bagi pemerintah, dengan GBHN (yang dimandatkan oleh MPR kepada presiden) sebagai dasarnya. Artinya, Prolegnas dianggap sebagai wilayah kerja (domain) pemerintah. Perlu dicatat, ketika itu UUD belum diamandemen, sehingga kekuasaan membentuk undang-undang masing ada di tangan pemerintah. Ketika pola legislasi berubah dalam amandemen pertama pada 1999, kebiasaan ‘merencanakan’ legislasi dalam Prolegnas yang dianggap baik, ingin diteruskan dan karenanya diadopsi sebagai satu dari enam tahap pembentukan undang-undang dalam UU 10/2004. Hasilnya, penentu akhir prolegnas digeser ke DPR
[12].
Meneruskan kebiasaan baik menjadi problematik ketika esensi kebiasaan itu tidak dipertimbangkan. Dalam logika perencanaan pembangunan yang terkandung dalam gagasan awal Prolegnas, tetap harus ada program pembangunan yang menjadi dasarnya. Padahal, pasca-amandemen UUD 1945, GBHN tidak ada lagi. Maka yang seharusnya dijadikan dasar dalam ‘program pembangunan’ adalah visi dan misi presiden terpilih. Dengan konteks itu, dibuat UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam UU No. 25 tahun 2004 diatur mengenai adanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah(RPJM) sebagai dokumen perencanaan untuk periode lima tahun dan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden
[13].
Jika Prolegnas a la UU No. 10/2004 ingin diposisikan kembali sebagai bagian dari program pembangunan, maka seharusnya dasarnya adalah UU RPJP, yang saat ini masih belum selesai dibahas. Namun persoalannya, bagaimana mengawinkan RPJP, RPJM, dan Prolegnas dalam kaitannya dengan aktor-aktor yang berbeda itu?
Masalah lainnya, model pembuatan Prolegnas dibuat menjadi lebih terbuka, namun bukan sebagai perdebatan publik dalam konteks perumusan kebijakan publik, yang biasanya memakan waktu lama dan diadakan secara partispatif. Yang dilakukan dalam pembentukan Prolegnas pada awal 2005 adalah pengumpulan daftar dari pemerintah, DPD, komisi-komisi di DPR, dan keolompok-kelompok kepentingan (organisasi non-pemerintah, lembaga studi, dan lain sebagainya). Akibatnya, yang terjadi adalah sekadar pengumpulan daftar judul tanpa penjelasan isu publik yang ingin dirumuskan menjadi rencana kebijakandan tanpa pertimbangan tingkat urgensi, rencana implementasi makro, serta rencana evaluasi kebijaka. Daftar pun memanjang menjadi 284 judul RUU, yang dipilah lagi menjadi daftar prioritas tahunan
[14].
Prolegnas seringkali menjadi tolok ukur keberhasilan DPR dan Pemerintah dalam menghasilkan produk legislasi. Penggunaan tolok ukur ini sungguh sesuatu yang keliru. Bukan jumlah undang-undang yang menjadi ukuran bahwa kinerja DPR menjadi baik, karena jumlah undang-undang yang keluar tidak berbanding lurus dengan perbaikan dalam sebuah masyarakat. Ketetapan sebuah undang-undang untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang ada dalam masyarakat serta memecahkan persoalan tersebut melalui undang-undang adalah kuncinya. Namun selama ini pencapaian sejumlah tertentu undang-undang dalam menjadi sesuatu yang seolah prestasi besar dan menyelesaikan semua permasalahan. Hal ini bahkan seringkali menjadi amunisi bagi para politisi untuk merebut simpati para pemilihnya.
Saat ini Prolegnas tidak berkorelasi dengan perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Ini terjadi karena pembuatan Prolegnas tidak dikonstruksikan sebagai perdebatan perumusan kebijakan publik secara partisipatif dan terbuka. Melainkan hanya sebagai pengumpulan daftar judul RUU. Suatu hal yang sangat disayangkan mengingat ‘ongkos’ Politik dan Ekonomi yang telah dikeluarkan dalam rangka penyusunannya bukanlah nilai yang murah.
Berkaca beberapa dari pembahasan di atas keberadaan Prolegnas seperti yang sekarang ini mesti dipikirkan ulang. Prolegnas harus diletakkan kembali dalam esensinya sebagai sebuah produk perencanaan kebijakan publik. Maka prosesnya pun harus mencerminkan proses perencanaan kebijakan publik yang sesungguhnya. Proses ini harus bersifat terbuka. Walau pada akhirnya tetap akan ada pelontar isu dan penentu akhir kebijakan sebagai teks belaka, dalam bentuk judul RUU. Namun sebagai pijakan bagi perencanaan makro, dengan perencanaan mengenai implementasinya, serta kerangka monitoring dan evaluasinya
[15].

Referensi:

L.Binawan, Al Andang. “Merunut Logika Legislasi,” Jurnal Hukum Jentera. edisi 10 tahun III (Oktober 2005): 7-22.

Bivitri Susanti, dkk (Tim Peneliti PSHK). Bobot Berkurang, Janji Masih Terhutang: Catatan PSHK tentang kualitas legislasi 2006. (Jakarta: PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan) & Konrad Adeneur Stiftung/KAS). 2006.

Djani, luky “Efektifitas-Biaya dalam Pembuatan Legislasi” Jurnal Hukum Jentera. edisi 10 tahun III (Oktober 2005): 7-22.

Sholikin, M. Nur. Pengujian Undang-Undang & Proses Legislasi (Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan / PSHK). 2008.

Peraturan Presiden No. 8 tahun 2005 tentang Tata Cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Presiden.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[1] Al. Andang L.Binawan, “Merunut Logika Legislasi,” Jurnal Hukum Jentera, edisi 10 tahun III (Oktober 2005): 7-22, hlm. 9.
[2] Bivitri Susanti, dkk (Tim Peneliti PSHK), Bobot Berkurang, Janji Masih Terhutang: Catatan PSHK tentang kualitas legislasi 2006., (Jakarta: PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan) & Konrad Adeneur Stiftung/KAS), 2006, Hal 2.
[3] ‘Masalah anggaran’adalah masalah klasik yang selalu dijadikan alasan tidak hanya di pihaklegislatif tetapi juga di bagian lain seperti pada Eksekutif bahkan Yudikatif.
[4] Bivitri, Op.Cit. Hal 3.
[5] Luky Djani, “Efektifitas-Biaya dalam Pembuatan Legislasi” Jurnal Hukum Jentera, edisi 10 tahun III (Oktober 2005): 7-22, hlm. 40.
[6] M. Nur Sholikin, Pengujian Undang-Undang & Proses Legislasi, (Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan / PSHK), 2008, hal 49.
[7] Sebagian disadur dari draf Laporan Penelitan PSHK tentang Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi Legislasi yang dipublikasikan pada akhir februari 2007.
[8] Bivitri, Op.Cit. Hal 43.
[9] Ibid, Hal 44.
[10] Nur Sholikin, op.Cit., Hal 50.
[11] Bivitri, Op.Cit. Hal 45.
[12] Ibid, Hal 44.
[13] Ibid, Hal 45.
[14] Ibid.
[15] Ibid.