Jumat, 09 Mei 2008

Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia:
Relativisme yang paling mungkin...
Oleh: Muhamad Ilham, FHUI 05 – Konsentrasi Hukum Tata Negara

Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari droits de I’homme dalam bahasa perancis yang berarti “Hak Manusia”, atau dalam bahasa Inggrisnya human rights, yang dalam bahasa Belanda Menselijke rechten. Di Indonesia umumnya dipergunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan terjemahan dari basic rights dalam bahasa Inggris dan grondrecten dalam bahasa belanda[1].

Bicara mengenai HAM, maka kita juga tidak bisa telepas dari tiga arus utama yang mewakili penadapat umum tentang pengertian HAM di dunia saat ini, yaitu:
Aliran Natural Rights
Aliran Positivis
Aliran Relativisme
Pada dasarnya kemunculan tiga aliran di atas merupakan akibat dari tiadanya batasan yang pasti bagaimana HAM itu sendiri.

Natural Rigths beranggapan bahwa pada dasarnya HAM itu telah ada dari awal, bahwa HAM adalah hak dasar yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia dan yang dapat mengambilnya kembali hanyalah Tuhan itu sendiri. Aliran ini menjunjung tinggi HAM sebagai suatu hal yang benar-benar tidak bisa diganggugugat dan sifat itu melekat pada setiap orang tanpa terkecuali.

Kelebihannya adalah karena mereka membuka seluas-luasnya Apresiasi kepada HAM baik dalam pengertian maupun praktek, dengan pemahaman tersebut maka terlihat seolah-olah tidak ada batasan yang pantas bagi HAM. Negara-negara di sebagian benua eropa adalah contoh konkret adanya pemahaman aliran ini, dimana hal yang paling sering menjadi perdebatan yaitu mengenai Dead Penalty (Hukuman Mati).

Lain lagi dengan Aliran Positivis yang menganggap HAM itu baru ada setelah diakui oleh Undang-Undang atau peraturan yang berlaku, sehingga konsekuensi logis yang terjadi adalah jika suatu Undang-Undang atau peraturan melakukan pencabutan terhadap HAM itu sendiri, maka hal tersebut sah-sah saja.

Aliran ini seringkali menjadikan isu Penegakan HAM sebagai justifikasi terhadap pendapatnya, sebab mereka beranggapan bahwa tidak ada kemungkinan bagi HAM untuk bisa tegak kecuali dengan Peraturan atau Hukum. Adalah suatu hal mustahil jika HAM hanya hidup secara kultural dan tanpa perangkat hukum yang konkret.

Sedangkan aliran Relativisme mengatakan bahwa HAM itu nilai-nilainya diakui secara universal, namun bentuk dari HAM sendiri relatif/tergantung pada budaya dan tradisi masing-masing entitas baik negara, bangsa, atau suku.

Dua titik ekstrem yang terjadi antara Natural Rigths dan Positivis merupakan bentuk bentuk benturan dari Konsep Idealitas dan Fakta Realitas. Natural rights bicara pada tataran yang terlalu ideal atau bisa dikatakan melangit sehingga akibat yang seringkali terjadi ada pada tahap untuk mengaplikasikannya. Perasaan tidak logis juga terkadang tersirat pada sanksi hukum yang diberlakukan oleh negara-negara penganut Natural Rights, pada saat dijumpai banyaknya tindakan pidana yang dilakukan namun dibalas dengan hukuman yang justru tidak memenuhi rasa kemanusiaan itu sendiri,

sebagai contoh: Jika ditanyakan kepada tiap orang, apa hukuman yang paling pantas bagi seorang kriminal yang telah melakukan tindak pidana, berupa Penganiayaan, Pemerkosaan, Pembunuhan, serta Perampokan kepada salah satu dari anggota keluarga kita, entah Ibu, kakak, atau adik perempuan, di depan mata kepala kita sendiri?, sedang kita pada saat itu kita dalam keadaan tidak berdaya, karena diikat atau dilumpuhkan.
Tentu saja Hukuman Matilah (Dead Penalty), yang paling pantas diberlakukan jika memang betul-betul terbukti, sebab dirasa hal itu yang paling memenuhi rasa keadilan dan HAM. Namun, hal ini tidak berlaku bagi negara-negara yang beraliran Natural Rights sebab bagi mereka tidak ada alasan apapun untuk bisa merebut hak hidup seseorang termasuk seorang terpidana yang telah melakukan tindakan seperti di atas kecuali hanya Tuhan saja, maka tidak heran jika seringkali dijumpai hukuman penjara yang berjangka waktu hingga ratusan tahun sebagai pengganti hukuman mati sebagai konsekuensi dianutnya Natural Rights.

Lain lagi dengan yang terjadi di Indonesia misalnya, sudah berulangkali diajukan upaya judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang yang dianggap melanggar HAM karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 lantaran mencantumkan Hukuman mati sebagai salah satu pilihan hukumannya, namun sebanyak itu pula upaya tersebut terus kandas, dari mulai UU tentang Terorisme hingga UU Tetang Narkotika tidak satupun yang dikabulkan MK untuk diubah, sekalipun pada UUD 1945 pasca Amandemen terdapat bagian tersendiri tentang HAM, yakni BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, hal itu tetap tidak mempengaruhi putusan MK

Sedangkan Positivis dirasa terlalu sempit dengan hanya membatasi HAM pada kenyataan ada atau tidaknya HAM itu sendiri di dalam hukum dengan terlalu banyak melihat hanya pada penegakannya, sehingga seolah-olah menafikan sifat HAM yang kodrati. Padahal menurut John Locke, sebab tidak dicantumkannya secara tuntas materi hak-hak itu dalam suatu Konstitusi negara, disamping karena hak-hak asasi itu bersifat kodrati dan sudah ada sejak manusia dilahirkan, selain itu karena sesuai dengan teori persetujuan masyarakat bahwa hak-hak itu tidak tergantung kepada ketentuan konstitusi.

Apabila hak-hak itu dicantumkan dalam konstitusi secara terperinci dan limitatif, hak-hak itu dapat mempunyai sifat yang lain, tidak lagi sebagai hak-hak yang kodrati dan pra-konstitusional. Konsekuensinya, akan menimbulkan pembatasan-pembatasan tertentu, yang juga berlaku bagi pembentuk konstitusi. Hak-hak itu lalu akan menimbulkan kekuatan hukum yang sama seperti ketentuan konstitusi lainnya, yang memberikan jaminan kepada warga negara terhadap alat-alat kelengkapan negara yang terbentuk berdasarkan ketentuan konstitusi itu, tapi tidak terhadap pembentuk konstitusi itu sendiri[2].

Beberapa hal tadi menunjukkan bahwa betapa HAM itu memiliki interpretasi yang sangat luas bagi tiap-tiap entitas baik negara, bangsa, atau suku. sekalipun The Universal Declaration of Human Rigths telah diterima secara aklamasi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 Resolusi 217 A (III), namun tidak berarti secara mutlak seluruh masyarakat dunia menerima konsep HAM versi deklarasi tersebut secara penuh.

Sebagai bukti terhadap perbedaan ini pernah diungkapkan Kepala Yudikatif Iran Ayatollah Hashim Ashemi Asshahroudi di dalam seminar yang diadakan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI pada tahun 2007, beliau menanggapi hegemoni serta dominasi yang sedang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada sebagian besar negara dunia , yakni:
“Amerika memaksakan pemahaman mereka tentang HAM kepada banyak pihak terutama kepada negara-negara muslim, tentu saja hal ini tidak dapat diterima sebab Islam memiliki pengertian dan pemahamannya sendiri tentang HAM, apa yang dipandang sebagai HAM oleh Amerika tidak selalu sejalan dengan pemahaman Islam tentang HAM, maka bagaimanapun juga tidak ada hak bagi mereka untuk memaksakan kehendak tentang HAM bagi siapapun”
Bagaimanapun HAM merupakan hal yang sangat kompleks dan multitafsir, keberlakuannya diserahkan pada masing-masing entitas yang akan melaksanakannya, pemaksaan terhadapnya baik secara konsep maupun praktek adalah bentuk pelanggaran terhadap HAM itu sendiri, kita bisa saja bersepakat tentang nilai-nilai yang ada pada kata juga istilah HAM, namun mustahil rasanya pada tataran aplikasi atau bentuk-bentuk penerapannya kita juga akan mencapai kesamaan penafsiran.

Perbedaan antara negara-negara Natural rights dengan Interpretasi Mahkamah Konstitusi Indonesia tentang Hukuman Mati (Dead Penalty) adalah satu bukti nyata bahwa Tidak satupun negara yang mau untuk dipaksakan mengenai pemahaman yang mana mengenai HAM yang harus dia anut, apakah Natural Rights atau Positivis?, apakah dengan menyerahkan sepenuhnya kebebasan HAM itu pada tuhan saja atau membatasinya dengan Hukum dan perangkat aturan lain yang berlaku?, semuanya bisa saja sepakat dalam nilai tetapi tidak pada bentuknya.

Itulah paling tidak yang sedang terjadi pada HAM di dunia saat ini, bahwa pernah ada kesepahaman di antara bangsa-bangsa di dunia tentang HAM, namun tidak ada yang pernah bisa memastikan bahwa penerapan pada masing-masing entitas juga akan sama.


[1]Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia), 1983, Hal 7.

[2] Ibid, Hal 3.

Tidak ada komentar: