Jumat, 09 Mei 2008

Mengapa Buruh Menolak OutSourcing?...

Beberapa saat lalu momen besar itu telah lewat, momen yang selalu diperingati oleh sebuah kelas/golongan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sebuah kelompok mayoritas karena jumlahnya yang jauh lebih besar dari kelompok manapun, mereka biasa disebut dengan Pekerja atau Buruh.

Tepatnya pada tanggal 1 di bulan Mei setiap tahunnya, hari yang biasa disebut juga dengan May Day ini menjadi momen penting bagi para buruh atau pekerja untuk menyuarakan serta menuntut keinginan mereka kepada pemerintah. Fenomena ini tidak hanya terjadi di indonesia saja tentunya tetapi juga di seluruh dunia, seakan telah menjadi tren bersama kaum buruh. Tiap tahunnya May Day diperingati dan tiap tahun itu pula tuntutan selalu disuarakan, maka hal itu berarti bahwa tiap tahun pula masalah perburuhan tidak pernah tuntas terselesaikan. Dan khusus untuk beberapa tahun belakangan ini salah satu tuntutan yang paling terlihat adalah penghapusan sistem kerja OUTSOURCING. Apa dan Bagaimana Outsourcing tersebut? Serta kenapa buruh menolak sistem kerja Outsourcing? Tulisan ini mencoba untuk sedikit menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing diartikan sebagai Contract (Work) Out di Concise Oxford Dictionary, sementara kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:

“Contract: to enter or make a contract, from tha latin contractus, the first participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement. Con + trahere, to ldraw”
[1]

Di dalam Tesis yang ditulis oleh Yosianna Elia (seorang mahasiswa S2 fakultas Hukum UI) tentang Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak & Kewajiban Karyawan Outsourcing di PT. BNI, ia menyebutkan bahwa pada dasarnya outsourcing dapat dibedakan dalam arti sempit dan luas. Pada outsourcing dalam arti luas, terdapat berbagai macam bentuk dari outsourcing ini sehingga dapat diketahui bahwa sistem kerja ini tidak hanya berdiri sendiri tetapi juga memiliki varian dan jenis turunan lainnya. Namun, secara sederhana outsourcing dapat diartikan sebagai bentuk pengalihan kerja dari suatu badan utama kepada pihak ketiga, dimana bidang yang ditangani oleh pihak ketiga tersebut bukan merupakan core bisnis utama dari badan yang menggunakan jasa outsourcing tadi.

Pada konteks peraturan, istilah outsourcing ini pada dasarnya telah dikenal di dalam BW (KUHPerdata) tepatnya di pasal 1601, namun setelah Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan berlaku maka otomatis seluruh pengaturan di dalam BW dinyatakan tidak berlaku lagi. Di dalam UU No.13 tahun 2003 sendiri, pengaturan tentang outsourcing ini dapat ditemukan pada pasal 64, 65, dan 66, namun penyebutan yang ada dalam undang-undang ini sedikit berbeda yakni; Perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa, yang secara substansi tetap sama.

Ada banyak alasan yang menyebabkan para pengusaha memilih menggunakan jasa ini atau terjun ke dalamnya, selain dari masalah ekonomi serta prospek yang bagus, alasan efesisensi dan spesialisasi adalah yang paling sering digunakan sebagai dasar pembenaran. Tren yang sedang terjadi di dunia usaha saat ini adalah mengurangi biaya yang keluar dengan menggunakan jasa outsourcing untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada sangkut paut dengan core bisnis utama, selain itu spesialisasi dianggap lebih dibutuhkan dengan berkonsentrasi pada kemampuan/urusan utama dari suatu bisnis dalam mendapatkan profit sehingga untuk urusan-urusan yang dianggap tidak terlalu berhubungan diserahkan pada pihak ketiga, dan disatu sisi pihak ketiga pun dapat menjadikan outsourcing ini sebagai bidang spesialisasinya. Beberapa jenis pekerjaan yang biasa dioutsource seperti: Pesuruh, Cleaning Service, Office Boy, Penata Kebun, Pengantar Pesan, bahkan hingga Teller pada bank-bank komersil lainnya.

Sepintas jika kita hanya melihat pada tataran teori di atas kertas, sepertinya memang tidak ada masalah, apalagi untuk ukuran indonesia yang sedang membutuhkan banyak terobosan dalam mendorong roda perekonomian serta membuka banyak lapangan kerja, maka sistem outsourcing menjadi salah satu bidang yang dapat diandalkan. Namun ternyata tidak pada kondisi riil di lapangan.

Apabila ditelaah status karyawan (pekerja) outsource dibandingkan dengan status karyawan tetap dilihat dari hak-haknya dirasa tidak adil, bahkan kadang-kadang disertai pemotongan upah karyawan maupun upah lembur oleh perusahaan outsourcing, karena dari pemotongan itulah perusahaan penyedia jasa memperoleh keuntungan. Keuntungan yang diperoleh berasal dari selisih antara upah atau jasa yang diberikan oleh perusahaan pemberi pekerjaan (Pengguna) dengan yang dibayarkan kepada pekerja. Dengan demikian tidak mungkin semua upah yang diterima dibayarkan kepada pekerja. Para pekerja umumnya tidak dapat berbuat banyak hal ini sekali lagi dikarenakan sulitnya mencari pekerjaan yang memadai sehingga mereka bersikap pasrah daripada tidak ada sama sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup
[2].

Belum lagi masalah tanggung jawab bagi pekerja jika terjadi suatu kecelakaan kerja atau hal-hal yang membahayakan kesehatan pekerja. Pada dasarnya tanggung jawab pada pekerja/buruh tentunnya terletak pada pemberi kerja/pengusaha, seperti yang digambarkan pada skema di bawah ini:
Pemberi Kerja/Pengusaha
Pekerja/Buruh
Pada hubungan kerja normal seperti yang terlihat di atas, jelas terlihat bahwa perintah diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerja (digambarkan dengan garis lurus) sedangkan alur tanggung jawab terhadap pekerja juga berada pada pemberi kerja langsung (digambarkan dengan garis putus-putus). Namun lain halnya yang terjadi pada hubungan kerja yang terjadi pada sistem kerja outsourcing, antara lain sebagai berikut:
Perusahaan outsourcing
Pekerja
Pengguna
Pekerja
Pengguna
Anak Perusahaan
Perusahaan outsourcing

Terlihat bahwa pola hubungan kerja dan tanggung jawab pekerja dalam sistem outsourcing lebih rumit dibandingkan dengan sistem kerja biasa. Skema di sebelah kiri adalah skema outsourcing biasa, dimana perjanjian kerja dilakukan oleh perusahaan outsourcing dengan pekerja (garis lurus kebawah) serta tanggung jawab terletak pada perusahaan outsourcing tersebut (garis putus-putus ke atas), namun perintah langsung kepada buruh terhadap suatu pekerjaan dilakukan oleh perusahaan pengguna (garis lurus mendatar). Hal inilah yang seringkali menimbulkan perdebatan, dimana perusahaan pengguna dalam sistem kerja outsourcing ini dimungkinkan untuk seolah-seolah lepas tangan dengan alasan karena tanggung jawab terhadap pekerja telah dialihkan kepada perusahaan outsourcing. Padahal secara jelas diketahui bahwa melalui wewenangnya untuk memberikan perintah langsung pada buruh/pekerja perusahaan pengguna juga turut berkontribusi terhadap apapun resiko yang diahadapi buruh/pekerja, terutama jika terjadi kecelakaan kerja yang sewaktu-waktu dapat menimpa buruh/pekerja.

Kondisi yang lebih rumit lagi dijumpai pada skema yang kedua (disebelah kanan) dimana perusahaan outsourcing telah memiliki anak perusahaan. Dikatakan lebih rumit karena pola hubungan tanggung jawab yang ada kemungkinan bisa terdapat pada dua tempat yakni pada induk perusahaan outsourcing atau pada anak perusahaan outsourcing, sesuai dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja. Sambil tetap menyisakan masalah kontribusi perusahaan pengguna terhadap tanggung jawab kepada pekerja melalui perintah langsungnya.

Selain itu pada kenyataannya seringkali buruh tidak ikut disertakan dalam perjanjian kerja antara perusahaan pengguna dengan perusahaan outsourcing, skema di atas menjelaskan bahwa garis hubungan yang ada tidak mengikut sertakan buruh (Garis tanda panah ganda antara perusahaan pengguna-perusahaan outsourcing). Dengan tidak dikutsertakannya buruh di dalam perjanjian tadi, maka kembali jika buruh/pekerja mencoba menuntut perlakuan yang lebih adil ditempat mereka bekerja maka dengan cukup mudah pengusaha akan meminta kepada perusahaan outsourcing untuk menggantikan buruh/pekerja tersebut dengan buruh/pekerja yang lain, karena sekali lagi hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan pengguna dengan perusahaan outsourcing bukan dengan buruh/pekerja
[3]. Padahal bagaimanapun juga buruh/pekerja adalah juga salah satu pihak yang memiliki peran besar bagi perusahaan dalam mendapatkan profit, tanpa buruh/pekerja maka secara otomatis perusahaan itu pun tidak akan berjalan.

Dimana Pemerintah?
Jika kita mencermati salah satu dari empat unsur yang ada dalam perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha, yakni:
Adanya pekerjaan.
Imbalan Upah.
berada dibawah perintah (subordinasi)
Untuk suatu waktu tertentu
[4].

Sedari awal seharusnya telah disadari bahwa pada dasarnya posisi buruh selalu ada di bawah pengusaha, unsur dibawah perintah telah melegalkan pengusaha untuk bisa menyuruh buruh/pekerja melaksanakan perintah sesuai instruksinya. Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja, pada bagian ini fungsi negara seharusnya dijalankan yaitu untuk meningkatkan bargaining position buruh/pekerja di hadapan pengusaha dengan melindungi hak-hak dan kepentingan buruh/pekerja. Keadaan yang tidak seimbang itulah yang menyebabkan pula sifat hukum perburuhan bergeser dari yang semula merupakan hukum privat diantara para pihak, menjadi hukum publik dengan campur tangan negara di dalamnya melalui regulasi-regulasi yang dikeluarkan
[5].

Menghadapi persoalan outsourcing ini tidak seharusnya pemerintah selaku penentu kebijakan “menutup mata” dengan seolah-olah membiarkannya begitu saja. Banyak hal yang seharusnya dapat dilakukan ketimbang hanya melepaskan mekanisme ini kepada dunia usaha. Memang dengan adanya buruh/pekerja outsourcing dilihat dari sisi pengusaha sangat menguntungkan, sebab mereka bisa mendapatkan tenaga dengan hubungan yang mudah dan murah, akan tetapi apabila dilihat dari sisi buruh/pekerja hal ini tentu saja sangat merugikan.

Di dalam UU No. 13 tahun 2003, hanya ada 3 pasal yang mengatur secara khusus tentang outsourcing. Dengan pengaturan yang terlalu umum dan hanya berorientasi pada perusahaan outsourcing Ketiga pasal tersebut pun juga tidak memberikan perlindungan yang jelas tentang nasib buruh/pekerja

Sejauh ini Peraturan Pelaksana dari UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berhubungan dengan sistem kerja outsourcing, antara lain:
1. PERMENAKERTRANS NO: KEP-101/MEN/VI/2004 tentang tata cara perizinan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
2. KEPMENAKERTRANS NO: KEP-220/MEN/2004 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lain.

Dari dua peraturan pelaksana di atas tidak ada yang benar-benar menyentuh persoalan utama masalah outsourcing, seperti pada masalah pemotongan upah oleh perusahaan outsourcing kepada buruh/pekerja outsourcing. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan ketenagakerjaan yang lebih memberikan aturan tegas mengenai batasan maksimum atas hak & kewajiban perusahaan penerima pekerjaan, termasuk besaran prosentase yang boleh dipotong dari upah pekerjanya. Dengan demikian, kepentingan pekerjanya dapat lebih terlindungi, serta perusahaan juga dapat perlindungan atas kepastian haknya
[6]. Selain itu pemerintah juga perlu sesegera mungkin membuat mekanisme yang memungkinkan buruh/pekerja outsourcing untuk bisa ikut serta dalam perjanjian kerja antara perusahaan pengguna dengan perusahaan outsourcing, Sehingga buruh/pekerja dapat lebih memahami apa saja kerugian dan keuntungan yang ia peroleh dalam menjalankan pekerjaannya.

Sebagai penutup, momen 1 mei tiap tahunnya yang diperingati sebagai hari buruh sedunia hanya akan jadi ceremonial biasa dan tidak akan berbuah apa-apa jika pemerintah masih tetap tutup mata terhadap persoalan yang dihadapi buruh/pekerja. Diperlukan upaya-upaya konkret dari pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang melindungi kepentingan dan hak-hak buruh/pekerja sebagai bukti keberpihakan mereka pada rakyat. Pada dasarnya bagaimanapun juga buruh/pekerja akan selalu berada dalam posisi yang lemah, apalagi jika pemerintah tidak mau peduli. Dan jika kondisi ini terus terjadi, maka Outsourcing hanya akan jadi mekanisme untuk memeras dan mengeksploitasi tenaga buruh/pekerja, lalu bagaimana outsourcing berjalan? Melalui lemahnya regulasi dan ketidakberpihakan pemerintah kepada buruh, dan kenapa buruh menolaknya? Karena jelas hal itu sangat merugikan mereka.

[1] Lihat dalam Webster’s English Dictionary.
[2] Lihat Tesis, Yosianna Elia, Analisa Perlindungan Hukum Terhadap Hak & Kewajiban Karyawan Outsourcing di PT. Bank Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hal 83.
[3] Lihat, WWW. buruhmenggugat.or.id atau abm2006.multiply.com
[4] Helena Poerwanto & Syaifullah, Hukum Perburuhan; Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia), 2005, Hal 3.
[5] Pergeseran sifat ini juga dibahasakan sebagai “Publiekrechtelijk”, yaitu suatu hubungan hukum yang melindungi kepentingan umum (publiek) yang asasnya berbeda dengan hubungan perdata yaitu asas kesamaan hak dan kewajiban di antara subjek hukum dalam hubungan itu. (Lihat Bachsan Mustafa, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, Hal 48-49).
[6] Yosianna, Op.cit, Hal 84.

1 komentar:

danasahabat.blogspot.com mengatakan...

Bantu buat Kartu Kredit dengan beragam fasilitas dan diskon, free iuran tahun pertama di manapun anda berada di seluruh pelosok nusantara Kartu Kredit BNI, adalah Kartu Kredit BNI MasterCard dan BNI VISA, baik Kartu Biru, Emas
maupun Platinum berikut Kartu Tambahannya.
100% berkas aman cukup fc ktp.slip
gaji/skp kartu kredit npwp
khusus karyawan gaji min 3 jt perbulan.owner lampirkan fc ktp siup dan npwp bila memiliki kartu kredit bisa dilampirkan
proses maks 10 hari kerja.Diskon 15% untuk makanan dan minuman dengan minimum transaksi Rp 150.000,- dan maksimum transaksi Rp 2.000.000,-.
Diskon 20% untuk menu makanan Hot Kitchen (tidak termasuk Toast/Honey Toast/Beverage) dengan minimum transaksi Rp 150.000.- dan maksimum transaksi Rp 2.000.000,- (sebelum diskon, pajak dan servis).
Garuda Indonesia Travel Fair 2014, bekerja sama dengan Garuda Indonesia, one stop shopping untuk paket wisata Anda dengan harga spesial menggunakan Kartu Kredit dan Kartu Debit BNI.
Diskon cicilan 0% selama 3 & 6 bulan atau cicilan bunga ringan 0,8% selama 9 & 12 bulan dengan transaksi minimum Rp 1.000.000,-
Hemat hingga 50% atau maksimum Rp 1.000.000,- berminat hubungi
chairul sarto utomo via sms telp
PIN 52B77BDC TELP 088215334251. 085600125176 alamat kantor RUKO GALAKSI ARTERI SOEKARNO HATTA SEMARANG, LUAR KOTA SEMARANG BERKAS BISA DIKIRIM VIA EMAIL DI rooly88@gmail.com,