Senin, 12 Mei 2008

Seorang Muslim Wajib Bernegara...


Bicara mengenai bernegara tentu saja tidak terlepas dari aturan atau sistem hukum yang melandasi berdirinya negara itu sendiri, maka sebelum membahas lebih jauh mengenai bagaimana hukumnya bernegara dalam Syariat (Hukum) Islam, terlebih dahulu kita harus melihat perlunya berhukum pada Hukum Islam berdasarkan syariat.
Diantara landasan dapat kita lihat dari beberapa penggalan ayat Al Qur’an berikut ini:

“… Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

“… Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Maidah: 45)

“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik” (QS. Al-Maidah: 47)

“Tetapi tidak! Demi Tuhanmu! Mereka tidak (dikatakan) beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati tentang apa yang telah engkau putuskan serta mereka menerima dengan sungguh-sungguh.” (QS. An-Nisa: 65)

“Dan hendaklah engkau hukumkan antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka, dan berjaga dirilah daripada mereka, khawatir kalau-kalau mereka menggelincirkanmu daripada sebagian (perintah) yang Allah turunkan kepadamu. Maka…” (QS. Al-Maidah: 49)

“… Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah; Ia menerangkan kebenaran, dan adalah Ia sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS. Al-An’am: 57)

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki ? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini(agamanya)?” (QS. Al-Maidah: 50)

Dalam bukunya yang berjudul AL ISLAM, seorang ulama Islam bernama Syaikh Said Hawa menyatakan bahwa diantara beberapa penyebab batalnya Syahadatain dari seorang muslim yaitu jika “Menghukum dengan selain hukum Allah atau berhukum pada selain Allah”[1]. Termasuk dalam kategori ini adalah sistem demokrasi dalam pemerintahan yang mana segala macam peraturan dan undang-undangnya dibuat oleh wakil-wakil rakyat di parlemen yang sifatnya sebagai perwakilan rakyat dalam satu negara atas dasar kemauan dan pikiran semata-mata. Apabila keputusan penyusunan undang-undang itu terletak di tangan mayoritas (suara terbanyak) anggota parlemen, maka di sini berarti bahwa hak membuat undang-undang itu berada di tangan manusia (padahal hak membuat undang-undang adalah hak Allah semata).[2]

Selain itu ulama Islam lainnya, Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, menyatakan bahwa “Barangsiapa berkeyakinan bahwa hukum selain Nabi lebih baik, meski hanya pada batas keyakinan dan tidak mengamalkannya , maka dia kafir, baik suka maupun tidak suka”[3], ia juga mengategorikan orang yang berhukum selain pada hukum Allah dan menggunakan hukum selain yang diturunkan Allah, baik itu berupa undang-undang atau ketetapan hukum lainnya sebagai salah satu kelompok Thaghut[4].

Dengan demikian paling tidak dari dua pendapat ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa berhukum kepada syari’at merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah ta’ala dan merupakan konsekuensi syahadat bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah[5]. Maka bagi seorang muslim berhukum pada hukum atau Syari’at Allah statusnya Wajib.

Syari’at inipun tidak dapat dilaksanakan setengah-setengah, seluruh syari’at yang ada di dalam Islam idealnya dijalankan secara total bukan parsial, tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk menjalankan syari’at yang ia sukai saja dan meninggalkan syari’at yang ia benci. Dalam pandangan Islam, hidup manusia itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Tidak ada perbedaan antara masalah shalat dan masalah muamalat dalam kewajiban untuk tunduk kepada syariat. Sebagaimana wajibnya kita melaksanakan shalat, demikian pula kewajiban kita melaksanakan hukum qishash dalam pembunuhan[6].

Sebagai bahan berpikir, di dalam Al Qur’an terdapat perintah untuk mengerjakan puasa dan perintah melaksanakan hukum qishash yang letaknya sama-sama di dalam surah Al Baqarah dan jaraknya berdekatan. Perintah puasa terdapat pada ayat 183 dan perintah qishash terdapat pada ayat 178 dan 179. Letaknya hanya berjarak lima ayat. Bahkan, orang yang membaca surat Al Baqarah dari permulaan akan lebih dulu membaca ayat tentang qishash. Redaksi dua kewajiban itu pun mirip sekali. Mari kita perhatikan dua ayat tersebut:
Q.S Al Baqarah, 2:178. (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…)
Q.S Al Baqarah, 2:18. (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.)[7]

Anehnya, ayat yang satu (baca: puasa) kita pegang erat, sementara ayat yang satu lagi tidak kita praktikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah ini merupakan sikap mendua dalam memandang hukum Allah SWT?. Sikap seperti ini sangat dimurkai Allah. Hal yang sama pernah terjadi pada kaum Yahudi yang karenanya Allah mengutuk dan memurkai mereka[8].

Pertanyaan selanjutnya adalah mungkinkah Syari’at Islam itu tegak tanpa adanya mekanisme bernegara?, atau bolehkah jika Syariat itu dijalankan tanpa adanya pemerintahan yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah dengan tangan Shulthan sebagai alat pemaksanya?. Jawabannya tentu saja TIDAK, sebab seperti diketahui bahwa ada sebagian syari’at dalam islam yang pelaksanaannya tidak dapat dimungkinkan tanpa adanya Shulthan (Kekuasaan) seperti negara, dalam hal seperti Hukum Pidana sejenis Hudud, Ta’zir, dan Qishash, Negaralah yang melaksanakannya[9] bukan segolongan orang saja.

Disamping itu juga terdapat kaidah Ushul Fiqh yang mengatakan bahwa, “Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu menjadi wajib.”[10], contoh sederhananya seperti pada Wudhu dan Shalat; Shalat merupakan suatu hal yang wajib karena merupakan salah satu perintah Allah berupa ibadah Mahdhoh, sedangkan shalat itu sendiri tidak akan sah jika tanpa Wudhu, maka Wudhu itu pun menjadi wajib pula hukumnya. Begitu juga dengan bernegara dalam Islam, menjalankan syari’at Allah secara Kaffah merupakan sebuah kewajiban, namun dari seluruh syaria’t yang ada terdapat sebagian syari’at yang tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya Shulthan (Kekuasaan/Kekuatan), sedang kekuasaan dan kekuatan hanya dapat diraih secara efektif melalui mekanisme bernegara, maka jika ditarik kesimpulan bernegara dalam Syari’at Islam merupakan suatu hal yang WAJIB.

Perhatikan juga mengenai dalil-dalil tentang wajibnya menegakan khilafah (negara) bagi kaum muslimin, sebagai berikut[11]:
1. Nabi saw adalah seorang Rasul dan juga sebagai kepala negara. Meneladani beliau dalam kapasitasnya sebagai kepala negara adalah suatu kewajiban. Sabda Rasulullah saw:
“Aku meninggikan bagi kalian sesuatu yang apabila kalian pegang teguh maka kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunah”.
Sedangkan perbuatan beliau sebagai kepala negara merupakan salah satu Sunahnya.
2. Sabda Rasulullah saw:
“Barangsiapa yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya adalah (seperti) mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah saw:
“Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. “ (HR. Muslim)

3. Ijma’ (kesepakatan/konsensus) para sahabat, setelah Rasulullah saw wafat, atas pembai’atan Abubakar Shiddiq, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan serta Ali.
4. Firman Allah Swt:
Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri diantaramu. (QS. An-Nisa [4]:59)

Imam Al Mawardhi berkata, Bahwa pengangkatan imam (khalifah) dalam negara hukumnya wajib berdasarkan Syariat, dan bukan berdasarkan akal. Sebab imam (khalifah) itu bertugas mengurusi urusan-urusan agama, dan bisa jadi akal tidak mengategorikan imamah (kepemimpinan) sebagai ibadah, kemudian tidak mewajibkan imamah (kepemimpinan) tersebut. Akal hanya menghendaki hendaknya setiap orang dari orang-orang berakal melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan, dan pemutusan hubungan. Serta bertindak dengan adil dalam pelayanan dan komunikasi, kemudian ia bertindak dengan akalnya sendiri dan bukan dengan akal orang lain. Namun Syariat menghendaki bahwa segala persoalan itu harus diserahkan kepada pihak yang berwenang dalam agama. Allah Azza wa Jalla berfirman[12],
“Hai orang-orang yang beriman , taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” ( An-Nisa: 59).

Wajibnya bernegara dalam Islam juga tidak terlepas dari kondisi yang melanda sebagian besar umat saat ini, dimana kerusakan benar-benar merajalela hingga melanda seluruh bidang kehidupan, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Shadiq Amin dalam bukunya bahwa beberapa tanda kerusakan benar muncul pada 2 hal, yaitu: Kerusakan pada Hukum & Politik dan Kerusakan dalam kehidupan Sosial[13], dikatakan juga dalam bukunya, diriwayatkan Yahya bin Katsir berkata, “Seorang laki-laki melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sementara itu seseorang berkata kepadanya, ‘Uruslah dirimu sendiri, karena orang yang zalim takkan memberi petaka kecuali pada dirinya sendiri.’ Abu Hurairah berkata, ‘Engkau telah berdusta! Demi Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya, dan demi jiwaku yang berada dalam genggaman tangan-Nya, sesungguhnya, burung-burung menjadi lemah dan mati dalam sangkarnya karena kezaliman orang yang zalim.”[14]

Jika telah kita ketahui bahwa tiada jalan lain untuk memperbaiki semua itu serta mengubah realita ini kecuali dengan menegakan Negara Islam yang memberikan kekuasaan bagi Dien Allah, menjalankan syariat-Nya, melindungi nyawa, anak, bumi, dan harta kaum Muslimin, maka Islam menjadikan pemerintahan sebagai salah satu rukunnya. Pemerintahan, dalam kitab-kitab fiqh, termasuk masalah aqa’id dan ushulu’ddin. Bukan masalah fiqhiah dan cabang. Bahkan Nabi saw menjadikan pemerintahan sebagai salah satu ikatan Islam. Barangsiapa mengingkari masalah ini maka dia menjadi kafir dan keluar dari millah[15].

Apabila telah kita ketahui bahwa tanggung jawab menegakkan Daulah Islamiyah berlaku bagi setiap Muslim dan Muslimah- bukan hanya tanggung jawab para pemimpin dan ulama’ – maka adalah kewajiban setiap Muslim dan Muslimah untuk berperan serta dan berpartisipasi dalam melaksanakan perintah Islam ini, Orang-orang yang membatasi perjuangannya pada aspek keilmuan, ibadah ritual, dzikir, atau amal kebaikan; tanpa berusaha menunaikan kewajiban menegakan Daulah Islamiyah, mereka tetap berdosa serta belum melaksanakan kewajiban. Ilmu dan peribadatan tidak bermanfaat jika kaum muslimin tetap menjadi “makanan empuk” musuh-musuh Allah yang selalu menodai kehormatan. Toh pada akhirnya musuh-musuh Islam itu akan melarang para “ahli ibadah” dan “pengemban ilmu” tersebut melakukan kegiatan ibadah dan ilmunya, kemudian membentuk anak-anak Islam dengan prinsip-prinsip non-Islami secara murni.[16]

Sedangkan untuk mengukur ada tidaknya Islam di suatu negeri dahulu, dapat dilihat dari sistem hukum di negeri itu. Jika yang berlaku sistem hukum syariat, berarti Islam hidup di negeri tersebut. Sebaliknya, bilasistem hukum yang berlaku bukan syariat, pertanda kuat bahwa Islam tidak ada di negeri itu[17].

Bentuk boleh berubah, tapi fungsinya tetap sama; institusi yang mewadahi penerapan syariah Allah Swt.. Itulah sebabnya bentuk negara dan pemerintahan dalam sejarah Islam telah mengalami berbagai perubahan[18]. Yang permanen dalam politik Islam adalah fungsi negara sebagai instrumen penegak syari’at Allah. Adapun bentuk negara, mulai dari khilafah, dinasti, hingga negara bangsa, dan sistem pemerintahannya, mulai dari perlementer, presidensial hingga monarki , semua tetap dapat diakomodasi selama negara itu menjalankan fungsi dasarnya[19].







[1] Said Hawwa, Al Islam, (Jakarta: Al I’thisom Cahaya Umat), 2002, Hal 138.
[2] Ibid. Hal 134.
[3] Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khuraishi, At-Tanbiihaat al Mukhtasharah Syarh al-Waajibat al-Mutahattimaat al-Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah; Penjelasan hal-hal yang wajib diketahui oleh setiap Muslim dan Muslimah, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i), 2004, hal.110.
[4] Ibid. Hal. 259.
[5] Ibid.
[6] Dr. Daud Rasyid, Reformasi Republik Sakit; Peluang dan Tantangan Syariat Islam Pasca kejatuhan Soeharto, (Bandung: Syamiil Cipta Media), 2006, Hal 108.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikri al-Islami; Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), 2002, Hal 129.
[10] Husain bin Muhammad bin Ali Jabir, Ath Thoriq ila Jama’atil Muslimin; Menuju Jama’atul Muslimin: Robbani Press, (Jakarta), 2001. Hal 26.
[11] Hussain Abdullah, op.cit., Hal 118-119.
[12] Imam Al Mawardi, AlAhkam Assulthaniyah;” Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam,”(Jakarta: Darul Falah), 2006. Hal 2.
[13] Dr. Shadiq Amin. Ad-Da’wah Al-Islamiyah Faridhah Syar’iyah Wadharurah Basyriyah; Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal: Al I’thisom Cahaya Umat. Jakarta. 2006. Hal 8-9.
[14] Ibid. Hal. 36.
[15] Syaikh Musthafa Mahsyur, Min Fiqhi ad-Da’wah; FIQH DAKWAH: Al I’thisom Cahaya Umat, (Jakarta), Hal 215.
[16] Ibid.
[17] Daud Rasyid, op.cit., Hal 108.
[18] H.M. Anis Matta, Dari Gerakan Ke Negara, (Jakarta: Fitrah Rabbani), 2006, Hal 5.
[19] Ibid. Hal. 11.

1 komentar:

Ilham mengatakan...

ternyata..selidik punya selidik kakak juga bercita-citajadi penulis yaaa??
sama donk..cuma beda aja topik tulisan kita.hehehe...
buat M.I.L.H.A.M : go ahead!!!
nulis terus yaaaa...
hasilkan yang terbaik&berguna buat semua orang!!