Jumat, 09 Mei 2008

Majelis Permusyawaratan Rakyat


Analisis Kedudukan dan Fungsi MPR
Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Dihubungkan dengan Konsep Kedaulatan Rakyat

Oleh: Muhamad Ilham, FHUI 05

Bab I
Bentuk dan Kedaulatan

PASAL 1.
Konsep kedaulatan rakyat dapat kita perbandingkan pada Pasal 1 ayat 2 di bab ini, dimana pada awalnya sesuai dengan naskah asli UUD 1945, pasal ini berbunyi:

Pasal 1
(2) Kedaulatan adalah di tangan Rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.(naskah Asli).

Dari bunyi ayat 2 pasal 1 ini dapat diketahui bahwa pada awalnya MPR lah sebagai satu-satunya lembaga tertinggi negara yang dianggap sebagai representasi dari kedaulatan rakyat, sehingga secara struktural tidak ada yang lebih tinggi dari MPR sedang lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, dan MA berada pada hierarki bawah lembaga ini.
Namun berbeda dengan apa yang terjadi setelah UUD 1945 naskah asli di ubah hingga sebanyak 4 kali, ketentuan pada bagian ini pun ikut berubah, yakni:

Pasal 1
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. (Hasil Perubahan ketiga).

Dengan perubahan ini MPR tidak lagi memiliki kedudukan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat karena disamping MPR ada pula lembaga-lembaga negara lain yang juga merupakan pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat. Sehingga dalam hal ini, tidak lagi dikenal istilah lembaga tertinggi negara sebab kedudukan MPR pun saat ini juga dapat disejajarkan dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Meski sepintas terlihat adanya pengurangan kekuasaan yang bersifat absolut dari MPR, namun kedudukan kedaulatan rakyat pasca perubahan ini menjadi tidak jelas, jika pada naskah asli sebelum perubahan dapat dijumpai bentuk konkret dari suatu istilah kedaulatan rakyat yaitu MPR, maka yang terjadi setelah perubahan (amandemen) adalah abstraknya kedaulatan rakyat itu sendiri, sebab di dalam UUD pasca amandemen hanya disebutkan “Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut undang-undang. “
Sekalipun menurut Prof. Gimly Asshiddiqie, tetap diperlukan penekanan kata-kata “....dilakukan menurut UUD atau berdasarkan ketentuan konstitusi”, sebagai bentuk penegasan atas dianutnya prinsip ‘Constitusional Democracy’/Demokrasi konstitusional
[1], namun hal itu tetap tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai biasnya bentuk konkret dari dianutnya konsep kedaulatan rakyat oleh UUD 1945.
Sehingga dari bab ini tidak jelas apakah terjadi reduksi atau bahkan penguatan dari konsep kedaulatan rakyat itu sendiri.

Bab II
Majelis Permusyawaratan Rakyat

PASAL 2.
Dimulai dari pasal 2 dapat langsung dijumpai adanya pergeseran konsep tentang kedaulatan rakyat yang berubah, pada bunyi pasal 2 ayat 1 naskah asli disebutkan:

Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.(naskah asli).

Maka dalam naskah asli ini, 3 fungsi yang seharusnya ada dalam suatu lembaga perwakilan, yaitu 1.Political Representatives (DPR) , 2.Regional Representatives (Perwakilan atau Utusan Daerah) , dan 3.Functional Representatives (Utusan golongan)
[2] telah terpenuhi.
Berbeda dengan yang terdapat dalam ketentuan pasal 2 ayat 1 pasca amandemen, yaitu:

Pasal 2
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. (Hasil Perubahan keempat).

Dengan ketentuan baru ini, maka eksistensi utusan golongan dihapus dari sistem perwakilan berpilar tiga seperti yang diadopsi oleh UUD 1945. Dari hal ini dapat diketahui bahwa paling tidak ada satu unsur yang tidak terwakili di lembaga perwakilan kita, dan itu juga berarti konsep kedaulatan Rakyat mengalami reduksi pada pasal ini.

PASAL 3.
Jika pada pada naskah asli kewenangan MPR begitu signifikan maka lain halnya pada saat setelah perubahan. Seperti bunyi pasal 3 naskah asli, yaitu:

Pasal 3
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara.(Naskah asli).

Begitu signifikannya sehingga ada 2 komponen utama negara ini pada saat itu, yaitu UUD dan GBHN dapat diubah dibawah kewenangan dan mekanisme MPR. Dengan kata lain MPR sebagai representasi konkret kedaulatan rakyat pada masa itu memiliki fungsi yang sangat substansial dan penting.

Namun perbedaan drastis dengan sebelumnya justru terjadi pada perubahan Undang-Undang Dasar pasca amandemen ke empat. Dimana pasal yang baru terdiri dari tiga ayat yang sebagian besar isi ayat tersebut adalah tugas-tugas MPR secara formil saja, seperti; melantik dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, satu-satunya kewenangan yang masih cukup signifikan hanya ada pada ayat 1, yaitu berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.(Hasil Perubahan Ke tiga).
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.(Hasil Perubahan ke tiga).
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.(Hasil Perubahan ke tiga).

Oleh karena itu dapat diketahui bersama bahwa telah terjadi reduksi atas konsep kedaulatan rakyat pada bagian ini sebagai konsekuensi dari dikuranginya kewenangan MPR.

Dari sedikit ulasan mengenai dua Bab di dalam UUD 1945 di atas yang menyangkut MPR, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pasca terjadinya Amandemen Konstitusi di negara kita, konsep kedaulatan Rakyat di dalam MPR mengalami penurunan, dengan tidak terlalu signifikannya kewenangan dan kedudukan MPR saat ini.

[1] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia), 2002, Hal 2.
[2] Hendra Nurtjahjo, Perwakilan Golongan Di Indonesia; Pembahasan Eksistensi Utusan Golongan dalam susunan MPR, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia), 2002, Hal 51.

Tidak ada komentar: