Jumat, 09 Mei 2008

POSITION PAPER


REFORMASI PERADILAN DI TUBUH
MAHKAMAH AGUNG


Oleh:
Muhamad Ilham & Andhy Martuaraja




Fakultas Hukum
Universitas Indonesia

PENDAHULUAN


Reformasi peradilan merupakan sebuah keniscayaan. Ia bukan lagi sebuah momentum, tetapi spirit yang terus menggelora di tengah kegalauan publik yang senantiasa mendambakan rasa keadilan. Reformasi peradilan menjadi bagian penting yang tidak bisa diabaikan dalam proses demokrasi dan gerakan sosial (social movement) yang lebih luas. Karena reformasi peradilan menghendaki lembaga peradilan idealnya dapat dimanfaatkan untuk menjamin perlindungan terhadap kebebasan sipil-politik serta perlindungan sosial-ekonomi rakyat[1].

Bisa jadi, meninggalkan reformasi peradilan mengakibatkan proses demokrasi berjalan tanpa arah, dan gerakan sosial tertatih-tatih. Sebaliknya, reformasi peradilan akan kehilangan moralitas dan legitimasinya jika mengabaikan issue dan kepentingan hak-hak masyarakat. Pada titik ini, reformasi perlu diupayakan agar mampu bersinergi dengan kekuatan/kelompok sosial-politik dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang pro-reformasi peradilan[2].

Sejauh ini reformasi peradilan memang telah menghasilkan berbagai perubahan, baik pada tataran kebijakan sampai pembentukan mekanisme dan institusi baru[3].

Independensi kekuasaan kehakiman sebagai sesuatu hal yang prinsipil di dalam negara hukum yang demokratis. Tanpa kehadiran kekuasaan kehakiman yang independen, maka tidak ada demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum (demokratische rechstaat). Independensi atau kebebasan tersebut dimaksudkan tidak adanya campur tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap pelaksanaan fungsi peradilan. Termasuk pula campur tangan dari unsur-unsur kekuasaan kehakiman itu sendiri serta kekuasaan ekonomi dan politik di luar sistem kekuasaan negara[4].

Independensi di sini sekaligus merupakan independensi personal setiap hakim untuk menjalankan tugasnya tanpa ketakutan dan keberpihakan. Sebab kelengkapan pertama dan utama untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang independen ada pada hakim. Kedua jenis independensi ini tidak sekedar menuntut jaminan-jaminan konstitusional formal, tetapi juga cara-cara penunjukkan atau pengangkatan hakim dan jaminan keberlangsungan mereka dalam melaksanakan jabatannya (Beetham & Boyle, 2000)[5].

Oleh karena itu, misi penting bagi reformasi peradilan tidak hanya sebatas menegakkan independensi dan imparsialitas peradilan sebagai suatu prinsip dalam negara hukum yang demokrasi. Tetapi penting juga bagaimana membangun dan menjaga sistem akuntabilitas dan mekanisme kontrol bagi para hakim agar peradilan tidak memunculkan abuse of power baru atau tyrani judicial. Setidaknya akuntabilitas dari segi politik, segi sosial/publik, segi hukum bagi hakim baik pejabat negara maupun secara personal (Mauro Cappaletti, 1989)[6].


BEBERAPA FOKUS PERUBAHAN

PEREKRUTAN

Mewujudkan Hakim yang Berintegritas, Bermartabat, dan Profesional

Hakim merupakan tonggak keadilan. Tanpanya mustahil diwujudkan hukum yang mampu mengayomi masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi peradilan maka diperlukan perbaikan yang menyeluruh dari perbaikan sistem rekrutmen hakim, pembinaan sampai pengawasan hakim.

Rekrutmen Hakim

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan memerlukan pembaruan yang menyeluruh. Salah satu faktor utama yang menopang pemberantasan praktik mafia peradilan ialah melalui rekrutmen hakim. Dengan menempatkan hakim-hakim yang memiliki integritas yang tinggi, berkomitmen, jujur, dan bermartabat maka wibawa institusi peradilan dapat kembali terangkat. Pada tahun 2000, diadakan rekrutmen hakim agung untuk mengisi kekosongan 20 kursi hakim agung. Rekrutmen tersebut ialah proses rekrutmen pertama setelah Orde Baru tumbang dan merupakan proses yang jauh lebih baik ketimbang sebelum Orde Baru. Pada masa rezim Orde Baru, peran sentral Presiden begitu kental dalam proses rekrutmen di MA.[7] Terlihat jelas kepentingan eksekutif dalam menyetir lembaga yudikatif. Oleh sebab itu, proses rekrutmen tidak dilakukan secara transparan dalam memilih SDM yang berkualitas dan berintegritas untuk duduk di MA.

Bagaimana seharusnya model rekrutmen hakim yang ideal bagi Indonesia. Di negara yang mengacu pada sistem common law, hakim direkrut secara terbuka.[8] Hakim dapat direkrut dari kalangan yang memiliki keahlian dibidang hukum baik akademisi, praktisi, atau kalangan hukum lainnya. Sebaliknya, sistem rekrutmen tertutup ada pada negara-negara yang menganut sitem civil law. Dalam sistem perekrutan ini tidak sembarang orang dapat direkrut menjadi hakim melainkan melalui proses rekrutmen yang telah ditentukan oleh lembaga yudisial.

Model
Kelebihan
Kekurangan
Terbuka
· Hakim dapat diseleksi dari kalangan yang luas;
· Hakim memiliki pemikiran yang independen dan progresif;
· Kepercayaan masyarakat cenderung tinggi.
· Hakim yang direkrut kurang berpengalaman dalam teknis peradilan;
· Sarat campur tangan politis
Tertutup
· Politisasi rekrutmen hakim dapat direduksi.

· Hakim yang direkrut kurang terbuka dan kreatif dalam menjawab permasalahan hukum yang baru;
· Hakim cenderung bekerja dalam lingkup birokratis.

Secara normatif di Indonesia masih menganut sistem rekrutmen tertutup. Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat hakim agung yang tidak didasarkan pada sistem karir. Seperti dimuat dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 5 tahun 2004. Jadi dapat disimpulkan bahwa Indonesia menggunakan sistem rekrutmen tertutup dengan membuka kemungkinan pelaksanaan sistem rekrutmen terbuka pula.[9]

Sejarah memperlihatkan, proses rekrutmen hakim agung di Indonesia kerap memperlihatkan kontroversi tentang bagaimana rekrutmen tersebut seharusnya dilaksanakan. Pada saat pembahasan RUU MA pada tahun 1985, terjadi perdebatan yang sengit antara Pemerintah dan MA versus DPR tentang penggunaan sistem rekrutmen terbuka dan tertutup. Akhirnya setelah terjadi kompromi politik, digunakanlah sistem tertutup dengan pengecualian hakim dari jalur non karir dalam kondisi tertentu.[10]

Dengan mengacu pada kelebihan metode terbuka dan tertutup pada negara-negara yang menganut sistem common law dan civil law. Dalam UU No. 5 Tahun 2004, pola perekrutan hakim di Indonesia sudah cukup baik dengan mengadopsi kedua sistem perekrutan hakim. Namun polemik metode perekrutan hakim hanya bermain dalam tataran elit saja. Maksudnya ialah metode campuran yang menggabungkan metode terbuka dan tertutup hanya ditujukan dalam mekanisme pemilihan hakim agung. Lalu bagaimana dengan mekanisme pengangkatan non hakim agung. Selama ini, rekrutmen non hakim agung untuk pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding memang dilakukan secara tertutup. Artinya, mereka yang akan menjadi hakim adalah mereka yang telah mendapatkan pembinaan dan pelatihan oleh MA.

Dalam prakteknya, pelaksanaan rekrutmen tertutup hakim diperuntukkan bagi mereka yang serendah-rendahnya berusia 25 tahun dan lulusan fakultas hukum.[11] Setelah itu mereka Calon Hakim (Cakim) harus mengikuti diklat selama 4-6 bulan. Hal ini menutup kemungkinan kalangan advokat atau akademisi yang berpengalaman untuk menjadi hakim tingkat pertama dan banding. Dalam hal ini, MA perlu memberikan kesempatan kepada kalangan lain yang kompeten dibidang hukum untuk dapat menjadi hakim. Terlebih lagi dengan memperhatikan keunggulan dari metode terbuka seperti ini.

Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan konsep campuran pada proses rekrutmen non hakim agung. Alasannya ialah dengan menganalogikan kepada kebutuhan hakim agung non karir. Ada kebutuhan mendesak dari masyarakat untuk mendapatkan hakim yang berkompeten dan memiliki integritas. Dan hal ini dapat secara cepat diperoleh dengan menggunakan metode campuran layaknya rekrutmen hakim agung. Mekanisme ini dilakukan sembari membenahi Diklat yang dimiliki MA dalam mencetak hakim karir.

Pembinaan Hakim

Dahulu, pembinaan hakim dilaksanakan oleh dua institusi. Di satu sisi, pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara itu, di lain sisi, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan HAM. Dengan dualisme pembinaan itu, sangat tidak mungkin untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Kini, dengan pengelolaan satu atap, Mahkamah Agung punya otoritas dan kesempatan memperbaiki segala kelemahan yang ada. Selain dari jalan rekrutmen, untuk menempatkan hakim-hakim yang profesional diperlukan pembinaan yang berkelanjutan. Hal ini mutlak dilakukan karena good judges are not born but made[12]. Saat ini MA telah memiliki Pusdiklat sejak tahun 1994. Namun dalam pelaksanaannya, fungsi pendidikan dan pelatihan yang selama ini dijalankan oleh MA masih memiliki kelemahan antara lain:[13]
a. Organisasi Badan Diklat kurang sesuai dengan kebutuhan;
b. Kurikulum Pendidikan dan pelatihan yang kurang tepat;
c. Metode pengajaran kurang edukatif;
d. Pengajar kurang berkualitas;
e. Sistem evaluasi yang tidak efektif dan belum dihubungkan dengan sistem karir; dan
f. Budget yang kurang memadai.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan yang komprehensif dalam Diklat MA. Diperlukan perbaikan Diklat secara bertahap antara lain dengan perbaikan kurikulum, pengajar, metode pengajaran, maupun SDM pengajar. Selain itu, perlu ada evaluasi secara berkala oleh MA terhadap lulusan Diklat yang nantinya akan ditempatkan sebagai hakim. Evaluasi berkala ini dilakukan untuk mengontrol kualitas hakim yang dihasilkan Diklat.

Selain dari diklat perlu ada regulasi internal MA yang menjaga perilaku hakim. Dalam hal ini, MA perlu diapresiasi dengan adanya SK KMA No. 104AKMA/SK/XII/2006 dan SK 215/KMA/SK/XII/2007.[14] Namun, realisasi dari dua SK ini juga perlu dikawal. Yang perlu untuk dihindari adalah jangan sampai semangat mewujudkan hakim yang berintegritas ini kuat dalam normatif tapi lemah diimplementasi. Pada tahun 2007, MA telah melakukan pelatihan Pedoman Perilaku Hakim yang telah diikuti oleh sekitar 3200 hakim. Namun perlu dicermati bahwa jumlah hakim di seluruh Indonesia berjumlah lebih dari 7000 hakim. Oleh karena itu, diperlukan program serupa untuk mencakup seluruh hakim dalam berbagai tingkatan diseluruh Indonesia.


MANAJEMEN PERKARA

Manajemen perkara merupakan tata kerja penyelesaian perkara. Di Mahkamah Agung (MA), manajemen perkara dimulai sejak perkara-perkara tersebut diterima oleh MA, ditelaah dan didaftar di direktorat perkara, didistribusikan ke tim dan Majelis Hakim Agung, diperiksa, dimusyawarahkan, diputus dan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim Agung, diarsipkan sampai dengan dikirimnya kembali berkas perkara tersebut kepada pengadilan pengaju (pengadilan tingkat pertama).

Mengenai manajemen perkara ini, permasalahan yang cukup mendapatkan sorotan masyarakat terhadap MA adalah masalah lamanya proses penyelesaian perkara, terutama perkara perdata[15]. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena banyaknya perkara-perkara yang menumpuk (backlog) di MA yang merupakan akumulasi dari sisa-sisa perkara yang belum diputus pada tahun-tahun sebelumnya. Besarnya angka tumpukan perkara tersebut menyebabkan perkara-perkara yang baru terpaksa ditangguhkan terlebih dahulu pemeriksaannya guna dapat menyelesaikan perkara-perkara yang sudah bertahun-tahun masuk ke MA. Menurut Yahya Harahap, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara dari tingkat pertama sampai kasasi adalah 7-12 tahun[16]. Dan waktu terlama ada pada proses pemeriksaan di MA. Lambatnya proses penyelesaian perkara ini menyebabkan asas “the speedy administration of justice” sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 14/1970 yaitu “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”, tidak berjalan secara efektif. Sekalipun permasalahan penumpukan perkara di pengadilan tertinggi ini tidak hanya terjadi di indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia, upaya-upaya untuk terus mengikis dan mengurangi hal tersebut harus terus dilakukan serta dikawal secara baik.

Mekanisme Pengurangan Perkara

Walaupun sering dikatakan bahwa penyebab dari adanya tumpukan perkara adalah hanya karena tidak adanya pengaturan yang membatasi perkara yang dapat dikasasi, akan tetapi berdasarkan penelitian Tim Cetak Biru Pembeharuan Mahkamah Agung yang diselesaikan pada tahun 2003 lalu, disimpulkan bahwa ketiadaan pengaturan tersebut hanyalah salah satu faktor saja[17].

Salah satu Faktor penentu yang menyebabkan penumpukan perkara ini terus terjadi yakni, terdapatnya kelemahan dalam manajemen perkara[18]. Beberapa contoh hal yang disoroti oleh Tim Cetak biru Pembaruan MA tahun 2003, seperti: Tidak adanya Sistem Klasifikasi perkara, Adanya Jalur perkara yang terlalu panjang, tidak adanya kontrol terhadap produktivitas Hakim Agung dan sebagainya. Namun pada dasarnya kesemua masalah itu tergabung dalam ruang lingkup Manajemen Perkara. Dimana Faktor Manajemen Perkara yang lemah ini pula yang juga turut berkontribusi pada urutan ke-3 teratas[19] dalam menyumbang terjadinya penumpukan perkara.

Saat ini saja dalam laporan terbarunya[20], Mahkamah Agung RI memperlihatkan data mengenai status perkara yang saat ini ada di MA yang belum diputus, yakni:
Sebanyak 67% (13.525) = Merupakan perkara yang masih aktif/berusia di bawah 2 tahun.
Sebanyak 33% (6.794) = Merupakan perkara yang sudah berusia di atas 2 tahun.
Melihat banyaknya perkara yang menumpuk di MA, tren yang terjadi pada tiga tahun terakhir terhitung dari tahun 2005, 2006, dan 2007[21], tidak kurang dari 9.000 perkara dari seluruh jenis selalu menjadi tanggungan hutang bagi MA untuk diselesaikan. Maka dari itu terhadap masalah penumpukan perkara ini harus dilakukan upaya yang serius serta terencana dengan target-target tertentu yang ditetapkan. Selain itu mengenai misi pengurangan perkara ini juga perlu dituangkan dalam bentuk peraturan formil oleh MA yang lebih mengikat, sehingga usaha yang dilakukan bukan hanya sekedar kebiasaan-kebiasaan saja yang secara rutin dipraktekan di antara para hakim. Sekali lagi agar upaya in dianggap serius oleh jajaran MA.

Selain kendala-kendala substansi seperti di atas, permasalahan penumpukan perkara di MA juga disebabkan oleh kendala-kendala teknis seperti salah satunya mengenai proses minutasi yang dilakukan oleh para staf dijajaran MA yang seringkali memakan waktu sangat lama[22], sebagai contoh: dalam laporan tahunan MA tahun 2007 dikatakan bahwa suatu putusan dapat diakses oleh publik paling lambat 1 minggu dari sejak diputus, berbeda jauh dengan MK (mahkamah konstitusi) yang hanya memakan waktu rata-rata 10 hingga 15 menit saja, sehingga masalah minutasi perkara yang terlalu lama ini juga ikut menumpuk banyaknya perkara di MA, hanya karena masalah sepele akhirnya berujung pada alur kerja di MA yang semakin lama, bahkan lebih jauh lagi berpengaruh juga pada minimnya ekspektasi masyarakat pada sebuah lembaga peradilan setingkat MA.

Rekomendasi
Sesuai dengan rekomendasi yang juga telah disampaikan oleh Tim Cetak Biru pembaruan MA, maka MA perlu membuat aturan yang tegas tentang mekanisme pemrioritaskan perkara yang setidaknya mengatur hal-hal berikut:

Pertama, sifat atau jenis perkara yang dapat diprioritaskan diatur secara limitatif dan jelas. Sebisa mungkin semua perkara yang akan diprioritaskan dapat dinilai secara obyektif[23]. Kedua, khusus untuk perkara yang penilaiannya harus ditafsirkan (subyektif), maka penentuannya dilakukan secara kolegial dalam Rapat Pimpinan (bukan hanya oleh Ketua/Wakil ketua MA).
Maka dengan rekomendasi ini, mendesak MA untuk segera mengeluarkan SK Ketua MA yang mengatur mengenai Pemrioritasan Perkara.

Belajar dari salah satu lembaga kekuasaan kehakiman lainnya yakni Mahkamah Konstitusi yang telah membuktikan bahwa suatu putusan itu dapat dikeluarkan dan diakses dalam waktu yang relatif cepat, maka MA perlu membuat sebuah Standarisasi Format Putusan pada setiap putusan yang dikeluarkan oleh para hakim di MA, hal ini ditujukan untuk meminimalisir hambatan teknis terhadap keluarnya suatu putusan serta mempercepat publikasi suatu putusan kepada para pihak maupun publik.

Bagi perkara-perkara yang telah menumpuk di MA, kualitas kecepatan rata-rata hakim untuk menyelesaikannya tidaklah cukup jika tidak diatur dalam instrumen yang jelas. Maka dari itu untuk mendorong para hakim untuk sesegera mungkin menyelesaikan suatu perkara, perlu dibuat suatu instrumen yang mengatur batasan waktu bagi para hakim untuk menyelesaikan perkara dari jenis apapun, pengaturan seperti ini pada dasarnya telah ada contohnya pada perkara Niaga dan Kasus Korupsi, hanya saja pada kenyataannya tidak semua jenis perkara memiliki pengaturan serupa terutama bagi perkara-perkara perdata yang biasanya memakan waktu yang sangat lama.
Maka dengan rekomendasi ini, mendesak MA untuk segera mengeluarkan SK Ketua MA yang mengatur batasan waktu bagi hakim untuk menyelesaikan perkara dari tiap jenisnya masing-masing.

Pembatasan Perkara yang Masuk ke Pengadilan

Usaha-usaha yang dilakukan untuk terus mengurangi jumlah tunggakan penumpukan perkara di MA tidak akan berjalan efektif dan mendapatkan hasil jika penanganannya hanya terkonsentrasi pada perkara-perkara yang sudah masuk saja, perhatian penanganan masalah ini juga harus melihat keluar dalam arti melihat juga pada perkara-perkara yang belum masuk atau akan masuk. Bagaimanapun hebatnya metode yang dijalankan oleh MA dalam menyelesaikan perkara yang ada, tetap tidak akan berpengaruh signifikan jika jumlah perkara yang masuk terus-menerus besar kuantitasnya.

Jika melihat pada salah satu metode yang telah dan masih dijalankan MA dalam mengurangi perkara saat ini, yakni Re-distribusi perkara kepada para hakim agung[24], maka secara singkat dapat dilihat bahwa penanganan penumpukan perkara di MA belum melihat kedepan. Namun sebetulnya pada Laporan tahunan MA tahun 2006 sempat ditulis di dalamnya suatu keterangan yang memuat bahwa perlu dipertimbangkan untuk membuat sebuah mekanisme yang menjadikan tidak semua perkara bermuara di MA[25]. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya telah ada kesadaran bagi MA untuk melihat betapa urgennya dibuat suatu mekanisme dalam Pembatasan Perkara yang dapat masuk ke tingkat Kasasi atau PK[26].

Pembatasan perkara yang masuk ke MA memerlukan kerangka yang jelas serta regulasi atau ketentuan yang mengikat dari MA sendiri. Pada dasarnya ada 2 (dua) model pembatasan yang dapat digunakan, yaitu pembatasan secara kualitatif dan kuantitatif. Pembatasan secara kuantitatif maksudnya, penentuan suatu perkara bisa dikasasi atau tidak dapat diukur kuantitasnya, misalnya berdasarkan nilai perkara (untuk perkara perdata dan agama)[27], berat ringannya ancaman hukuman (untuk kasus pidana)[28] atau jenis perkara tertentu (baik pidana, perdata, dan agama)[29]. Asumsinya biasanya karena perkara-perkara demikian bukanlah perkara yang sulit. Kelemahan pembatasan model ini adalah karena nilai antara satu perkara dengan perkara lain bisa jadi sangat berbeda[30].

Pembatasan secara kualitatif maksudnya, penentuan suatu perkara untuk dapat dikasasi atau tidak tergantung pada ‘kualitas’ perkaranya. Misalnya, perkara hanya bisa dikasasi jika perkara tersebut memiliki dampak luas terhadap para pihak atau masyarakat, memiliki dimensi konsititusional dan sebagainya. Kelemahan utama pembatasan model ini adalah penentuan apa perkara yang dianggap layak (karena ‘berkualitas’) bisa jadi sangat subyektif dan berpotensi disalahgunakan.

Rekomendasi
Oleh karena beberapa permasalahan penumpukan perkara yang ada, maka merupakan sebuah hal sangat penting bagi MA untuk segera menerapkan standar pembatasan bagi perkara yang masuk pada tingkat Kasasi maupun PK, sesuai dengan Rekomendasi yang diberikan oleh Tim Cetak Biru Pembaruan MA pada tahun 2003, maka beberapa alternatif pengaturannya adalah sebagai berikut:
Alternatif 1: Pembatasan perkara kasasi ke MA yang perlu diatur hanyalah pembatasan bagi perkara yang pengajuannya tidak memenuhi syarat formal kasasi sebagaimana telah diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2001. Karena itu, materi PERMA tersebut perlu dikuatkan dengan UU[31].

Alternatif 2: Perlu dibuat aturan mengenai pembatasan perkara yang dapat dikasasi dengan model pendekatan kuantitatif dimana pengaturan pembatasan perkara tersebut standarnya dibuat serendah mungkin.

Alternatif 3: Perlu dibuat aturan mengenai pembatasan perkara yang dapat dikasasi dengan model pendekatan kuantitatif.

Dengan beberapa pengaturan tentang pembatasan perkara yang masuk ke MA diharapkan dapat menjadi solusi ke depan bagi penumpukan perkara di MA[32], namun catatan utama yang juga menjadi sangat penting bagi pemberlakuan mekanisme ini secara formil adalah kondisi pada pengadilan pertama dan banding, dimana perbaikan terhadap kualitas putusan pun juga mutlak untuk dilakukan pada kedua tingkat pengadilan tersebut, jangan sampai menambah ketidakpuasan masyarakat dalam mencari keadilan.


TRANSPARANSI

Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa memang prinsip independensi peradilan adalah salah satu prinsip penting untuk melahirkan proses peradilan yang fair. Namun permasalahannya, prinsip ini sepertinya dianggap lebih penting dibandingkan prinsip pengadilan yang terbuka (yang prinsip yang mendorong lahirnya akuntabilitas pengadilan). Padahal kita menyadari betul bahwa independensi tanpa akuntabilitas dapat kita umpamakan sebagai “cek kosong yang bisa diisi apa saja”. Jangan sampai dengan alasan independensi, hakim menganggap ia dapat melakukan apa saja tanpa perlu mempertanggunggjawabkannya kepada publik dan pada akhirnya menjalankan proses peradilan yang sesat[33].

Fungsi utama lembaga peradilan dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar: fungsi Yudisial dan Fungsi non Yudisial[34]. Untuk fungsi yang kedua, bentuk akuntabilitas pengadilan sama dengan bentuk yang biasa dikenal di lembaga eksekutif dan legislatif. Namun untuk fungsi yang pertama, fungsi yudisial, ceritanya sedikit berbeda, terutama jika dihubungkan dengan akuntabilitas individu hakim[35].

Manfaat utama dari pengedepanan prinsip pengadilan yang terbuka yang bisa kita sarikan dari penjelasan di atas adalah bahwa hal tersebut akan menegakkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan pelaksanaan keadilan (administration of justice). Dan kepercayaan tersebut merupakan modal utama untuk mengukuhkan kewibawaan, otoritas, dan efektivitas peran lembaga peradilan yang pada gilirannya akan berdampak pada tegaknya prinsip negara berdasarkan hukum[36].

Bicara mengenai Transparansi pada dunia peradilan khususnya di lingkungan Mahkamah Agung serta peradilan umum lainnya, maka pada akhir agustus terbitlah sebuah regulasi yang dikeluarkan MA yang khusus mengatur Keterbukaan Informasi kepada publik di Pengadilan, regulasi tersebut yakni: SK KMA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007. Lahirnya SK 144 ini mengawali babak baru dalam pengelolaan badan peradilan yang lebih profesional, dimana pada masa-masa sebelumnya hal semacam ini sangat langka untuk ditemukan oleh publik. Jangankan mengakses perkembangan suatu perkara, untuk mengetahui dan mendapatkan duplikat putusan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap saja sudah sangat sulit.

Sekilas memang Regulasi tersebut seolah-olah memberikan angin segar bagi publik untuk dapat lebih terlibat dalam proses-proses yang terjadi di pengadilan, namun dalam perjalanannya jika melihat pada kenyataan yang terjadi di lapangan masih banyak pula kendala-kendala yang dihadapi oleh regulasi baru ini. Secara formil memang diatur oleh SK 144 bahwa publik telah dapat mengakses berbagai informasi yang ada di pengadilan dari mulai jadwal sidang hingga publikasi putusan, namun prakteknya publik masih saja disulitkan dengan prosedur yang berbelit-belit dan biaya yang mahal untuk memperoleh sesuatu yang dibutuhkan dari pengadilan. Sehingga SK 144 hanya menjadi Law in the Book bukan Law in Action.

Bagaimanapun juga kekurangan tersebut tidak layak dijadikan suatu dasar untuk terus memojokkan MA, bahkan sebaliknya Apresiasi yang besar patut diberikan kepada MA karena telah memulai suatu paradigma baru tentang institusi negara yang transparan jauh sebelum undang-undang resmi mengaturnya[37]. Namun, usaha-usaha untuk mendorong agar sesegera mungkin keefektifan SK 144 ini harus terus digalakan.

Rekomendasi
Kesiapan infrastrukur dan fasilitas merupakan hal yang mutlak untuk diprioritaskan, sebab keefktifan dari SK 144 ini menuntut teknologi yang jauh berbeda dengan yang ada sebelumnya. Kesiapan ini tentu saja tidak boleh hanya berhenti dan terpusat pada MA tetapi juga pada badan-badan peradilan dibawahnya baik Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri.
Selain itu ketersediaan SDM yang akan menangani SK 144 ini juga patut menjadi perhatian, sebab tanpa adanya SDM yang cukup betapapun hebat fasilitas yang dimiliki tetap tidak akan berguna, jika tidak bisa mengoperasionalkan kelengkapannya.


PENGAWASAN

Pengawasan terhadap hakim merupakan tugas yang sangat penting. Dibeberapa negara maju, tugas ini kadang tidak dianggap penting karena praktek dipengadilan mereka sudah baik sehingga yang menjadi hakim sebagian besar adalah mereka yang memiliki integritas yang baik. Namun permasalahan di Indonesia jauh lebih kompleks. Permasalahan integritas dikalangan hakim sudah menjadi masalah yang begitu luas. Oleh karena itu pendekatan pengawasan mutlak dilakukan. [38]

Pengawasan hakim dapat dibagi menjadi pengawasan internal maupun eksternal. Pengawasan internal dapat dibagi kembali menjadi pengawasan melekat dan fungsional. Pengawasan melekat dilakukan oleh MA kepada lembaga peradilan dibawahnya secara struktural. Sedangkan pengawasan fungsional merupakan setiap upaya pengawasan yang dilaksanakan oleh aparat yang ditunjuk khusus (exclusively assigned). Kewenangan MA dalam melaksanakan pengawasan dapat didelegasikan kepada pengadilan tinggi. Dengan pendelegasian ini, maka pengadilan tinggi disebut sebagai voorpost Mahkamah Agung.[39]
Sedangkan pengawasan eksternal, idealnya dilakukan oleh Komisi Yudisial. Permasalahannya, ialah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan semua kewenangan yang berkaitan dengan pengawasan Komisi Yudisial (KY) terhadap hakim. Padahal, menurut pasal 24B UUD 1945 KY berfungsi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Sudah selayaknya posisi KY sebagai pengawas eksternal lembaga yudisial diperhatikan.

Setelah adanya komitmen politik untuk memberlakukan penyatuan atap dibidang adminstrasi, keuangan, dan organisasi pengadilan, muncul kekhawatiran akan lahirnya monopoli kekuasaan di MA. Memang kekhawatiran itu seharusnya tidak muncul ditengah semangat pembaruan peradilan MA yang terpatri dalam Cetak Biru Pembaruan MA. Namun perlu juga dikritisi bahwasanya posisi Komisi Yudisial juga dicanangkan dalam Cetak Biru MA sebagai pengawas eksternal. Oleh karena itu, tidaklah patut ketika kewenangan pengawasan hakim oleh KY dipangkas begitu saja. Implikasi yang terjadi ialah telah terjadi sebuah pengkhianatan atas Cetak Biru MA yang telah disusun sendiri oleh MA. Selain itu, semangat pembaruan peradilan ditubuh MA juga perlu mendapatkan sorotan lebih. Akan ada anggapan-anggapan miring terhadap MA yang bisa dinilai sebagai lembaga yang anti reformasi peradilan.

Dinegara-negara Eropa, Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang cukup luas. Untuk negara-negara eropa utara, KY diatur dalam konstitusi dan memiliki kewenangan sampai menjatuhkan sanksi indisipliner terhadap hakim. Bahkan dinegara-negara eropa selatan, kewenangan KY juga mencakup pengawasan administrasi peradilan, tumpukan perkara, arus perkara, unifikasi hukum, konsistensi kualitas proses pengadilan, dan sebagainya.[40] Melihat dari bentuk dan kewenangannya, eksistensi KY di Indonesia mengadopsi KY yang berada dinegara-negara eropa utara. Namun permasalahannya, kewenangan KY di Indonesia sudah dipangkas sedemikian rupa sehingga hanya berwenang dalam bidang-bidang tertentu saja. Memang, keberadaan sebuah lembaga negara tidak perlu menjiplak dari negara lain, tetapi yang perlu dipertimbangkan disini ialah kebutuhan dari keberadaannya. KY diperlukan sebagai sebuah organisasi pengawas dan pendisiplin terhadap hakim.[41] Oleh karena itu sangat tepat jika dalam revisi UU KY mendatang posisi KY kembali ditetapkan sesuai dengan amanat UUD 1945.

PENUTUP

Sebagai penutup, dalam suatu negara hukum yang demokratis mutlak diwujudkan suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka, berwibawa, bersih, jujur, dan tidak memihak/berpihak. Namun perwujudan cita-cita luhur itu tidak semudah membalik telapak tangan. Masyarakatlah yang secara langsung maupun tidak mengalami ketidakadilan dalam proses peradilan tersebut. Dalam mengupayakan pulih kembalinya citra dan wibawa pengadilan, keterlibatan publik melalui proses eksaminasi[42] dapat menjadi langkah penting dan strategis guna menilai suatu putusan pengadilan yang kontroversial pada khususnya, serta kontrol jalannya sebuah kekuasaan kehakiman pada umumnya[43]. Position Paper ini secara lebih jauh juga dapat diartikan sebagai bentuk Eksaminasi dan kontrol dari mahasiswa terhadap kinerja badan peradilan khususnya MA, guna mewujudkan badan peradilan di Indonesia yang lebih baik lagi.


Referensi:
Firmansyah Arifin, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan; Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Peradilan Mendayung Diantara Simpati dan Resistensi, (2007).
Sebastian Pompe, The Indonesia Supreme Court; Fifty Years of Judicial Development, (Disertasi yang tidak dipublikasikan, 1996).
Sebastian Pompe, The Indonesia Supreme Court; Fifty Years of Judicial Development, (Disertasi yang tidak dipublikasikan, 1996).
Lihat John Herry Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal System of Western Europe an Latin America, Second Edition (Stanford University Press, 1996).
Mahkamah Agung RI (a), Cetak Biru Pembaruan Mahakamah Agung RI, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003).
Indonesia Corruption Watch, Jangan Pilih Calon Hakim (Agung) Busuk; Panduan Tracking Calon Hakim Agung, (Jakarta: ICW, 2007).
LeIP, Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, (Jakarta: Mahkamah Agung), 2003.
Odette Buitendam, Good Judges Are Not Born But Made: Recruitment, Selection, and The Training of Judges in The Netherlands dalam The Challenge of Change For Judicial Systems, Edited by Marco Fabri and Philip M. Langbroek (Netherlands: IOS Press, 2000).
LeIP , Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pendidikan Hakim, 2003.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa.
11. Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2005.
12. Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2006.
13. Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2008.
Rifqi S. Assegaf & Josi Khatarina, Membuka Ketertutupan Pengadilan, (Jakarta: Lembaga Kajian & Advokasi Untuk Indepensi Peradilan [LeIP]), 2005.
Mahkamah Agung RI (c), Naskah Akademis dan Rancangan UU tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003).
Lihat DR. Wim Voremans, Komisi Yudisial di Berbagai Negara Uni Eropa, (Jakarta: LeIP, 2002).
Wasingatuh Zakiyah, dkk, Panduan Eksaminasi Publik, (Jakarta: Indonesian Corruption Watch), 2003.
SK KMA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Pengadilan.










[1]Firmansyah Arifin, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan; Komisi Yudisial Pengawal Reformasi Peradilan Mendayung Diantara Simpati dan Resistensi, (2007), Hal 43.
[2]Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid, Hal 45
[5] Ibid.
[6] Ibid, Hal 46
[7] Sebastian Pompe, The Indonesia Supreme Court; Fifty Years of Judicial Development, (Disertasi yang tidak dipublikasikan, 1996), hal 308-309
[8] Lihat John Herry Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal System of Western Europe an Latin America, Second Edition (Stanford University Press, 1996), hal 35

[9] Mahkamah Agung RI (a), Cetak Biru Pembaruan Mahakamah Agung RI, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003) hal. 59
[10] Indonesia Corruption Watch, Jangan Pilih Calon Hakim (Agung) Busuk; Panduan Tracking Calon Hakim Agung, (Jakarta: ICW, 2007) , hal 1
[11] Lihat Mahkamah Agung RI (b), Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2003) hal 98-100
[12] Odette Buitendam, Good Judges Are Not Born But Made: Recruitment, Selection, and The Training of Judges in The Netherlands dalam The Challenge of Change For Judicial Systems, Edited by Marco Fabri and Philip M. Langbroek (Netherlands: IOS Press, 2000), hal 21
[13] Penjelasan lebih lanjut mengenai Badan Diklat dapat dilihat dalam studi yang dilakukan MA dengan dukungan LeIP yaitu, Kertas Kerja Pembaruan Sistem Pendidikan Hakim, 2003.
[14] SK KMA No. 104AKMA/SK/XII/2006 memuat sepuluh prinsip yang ditetapkan sebagai pedoman bagi hakim, yaitu adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjungtinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan profesional. Sedangkan SK 215/KMA/SK/XII/2007 mengenai pelaksanaan dan penegakan perilaku hakim (PPH).
[15] Hampir seluruh Pengajar (Dosen) Hukum Acara Perdata di Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan hal demikian.
[16] M. Yahya Harahap, Bebebrapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, hal. 154.
[17] Hal ini secara implisit juga dapat terlihat dalam SEMA No. KMA/500/SE/VII?2001 tentang Penyelesaian Perkara. Dalam SEMA tersebut Ketua MA secara eksplisit memerintahkan kepada para hakim Agung untuk lebih meningkatkan upaya menyelesaikan pemeriksaan dan memutus permohonan yang sudah ada pada masing-masing Majelis.
[18] Berdasarkan penelitian Tim Cetak Biru Pembaruan MA, secara kuantitatif 65% Hakim Agung menganggap bahwa salah satu penyebab tumpukan perkara adalah karena lemahnya manajemen perkara di MA.
[19] Tabel VIII.14, Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Tumpukan Perkara, Tim Cetak Biru Pembaruan MA.
[20] Laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2007, April 2008.
[21] Hasil pengamatan terhadap Laporan Mahkamah Agung pada tahun 2005, 2006, dan 2007.
[22] Berdasarkan pendapat dari salah satu Peneliti LeIP (Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan), Purnomo Satriyo Pringgodigdo, S.H.
[23] Misalnya pemrioritaskan perkara dengan alasan umur tua harus didefinisikan secara tegas, contohnya di atas 70 tahun.
[24] Diperoleh dari laporan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 2007, April 2008.
[25]Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Ringkasan Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, tahun 2006.
[26] Mengenai pembatasan perkara ini presedennya dapat kita temukan pada negara-negara bersistem hukum Anglo Saxon, khususnya Amerika Serikat yang menerapkan Leave System pada badan peradilan tertingginya, dimana tidak semua perkara dapat masuk dan diproses pada badan peradilan tertinggi tersebut, perkara yang dapat diproses hanyalah perkara-perkara yang bernilai ekonomis tinggi (menyangkut jumlah uang yang banyak) dan perkara-perkara yang memiliki dampak sosiologis yang besar pada masyarakat.
[27]Misalnya putusan perkara perdata dengan nilai perkara rill di bawah Rp 100.000.000 tidak boleh dikasasi, cukup sampai di pengadilan tingkat banding.
[28] Misalnya kalau perbuatan yang didakwakan diancam dengan pidana dibawah tiga tahun atau jika terpidananya dihukum dibawah tiga tahun maka terpidana tersebut tidak boleh kasasi.
[29] Misalnya semua putusan perkara perceraian yang tidak digabungkan dengan sengketa harta bawaan tidak boleh dikasasi, atau putusan perkara lalu lintas tidak boleh dimintakan kasasi.
[30] Untuk pihak yang miskin uang Rp 10.000 sangat besar. Namun bagi pihak yang kaya nilai Rp 10.000 tidak besar. Jenis perkara TIPIRING (Tindak Pidana Ringan) bisa jadi memiliki nilai konstitusional yang besar, misalnya hak untuk berunjuk rasa.
[31] Dasar pemikirannya, karena mayoritas perkara yang masuk ke MA adalah perkara yang ‘tidak sulit’. Dari jumlah rata-rata perkara pertahun yang masuk ke MA, mayoritas adalah perkara yang kemudian ditolak oleh MA, dan perkara yang ditolak biasanya lebih cepat proses memeriksa dan memutusnya.
[32] Berdasarkan hasil penelitian Tim Cetak Biru Pembaruan MA, dengan adanya pembatasan perkara yang tidak memenuhi syarat formal ke MA saja maka sudah mengurangi jumlah perkara sebesar rata-rata 18% pertahun.
[33] Rifqi S. Assegaf & Josi Khatarina, Membuka Ketertutupan Pengadilan, (Jakarta: Lembaga Kajian & Advokasi Untuk Indepensi Peradilan [LeIP]), 2005, hal 26.
[34] Misalnya mengelola organisasi, administrasi, personel, dan keuangan pengadilan.
[35] Rifqi, Op.Cit, hal 26.
[36] Ibid, hal 29.
[37] SK 144 MA lebih dulu lahir, sebelum usulan keterbukaan Informasi publik dalam UU KIP disahkan.
[38] Mahkamah Agung RI (c), Naskah Akademis dan Rancangan UU tentang Komisi Yudisial, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal. 47
[39] Lihat Mahkamah Agung RI (d), Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 2007, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008), hlm 45-48

[40] Lihat DR. Wim Voremans, Komisi Yudisial di Berbagai Negara Uni Eropa, (Jakarta: LeIP, 2002), hlm 11
[41] Mahkamah Agung RI (c), op. cit, hal 134
[42]Istilah eksaminasi berasal dari bahasa inggris examination yang berarti ujian atau pemeriksaan. Apabila dihubungkan dengan konteks eksaminasi terhadap produk peradilan (dakwaan, putusan, surat, perintah, dan lain sebagainya) maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk tersebut.
[43] Wasingatuh Zakiyah, dkk, Panduan Eksaminasi Publik, (Jakarta: Indonesian Corruption Watch), 2003, Hal 13.

Tidak ada komentar: